UTOPIA MASYARAKAT LAMBAK - 4
GURU: INTELEKTUAL TRANSFORMATIF

(DARI PUJANGGA

KE INTELEKTUAL PUBLIK)

Transformative intellectuals need to develop a discourse that unites the language of critique with the language of possibility, so that social educators recognize that they can make changes. In doing so, they must speak out against economic, political and social injustices both within and outside of schools. At the same time, they must work to create the conditions that give students the opportunity to become citizens who have the knowledge and courage to struggle in order to make despair unconvincing and hope practical. As difficult as this task may seem to social educators, it is a struggle worth waging. To do otherwise is to deny social educators the opportunity to assume the role of transformative intellectuals.

Henry A. Giroux.

Setiap zaman dan setiap masyarakat itu melahirkan intelektualnya, sebagai pencipta, penakrif dan penyebar makna dalam kebudayaan masyarakat itu. Dalam semua masyarakat bertamadun, tugas guru dipandang mulia dan disanjungi. Dalam tradisi Islam, guru diberi pengiktirafan besar, sehingga ditanggapi mulianya itu seumpamanya tugas kedua termulia selepas kenabian (nubuwah). Dalam masyarakat Melayu tradisional, guru amat sangat disegani khasnya dalam masyarakat di mana tingkat persekolahannya agak rendah. Dalam struktur kehidupan masyarakat petani Melayu, guru adalah salah satu tiang kepimpinan dalam masyarakat, selain pak penghulu, tok imam dan tok dukun.

Hari ini, dalam masyarakat Melayu bandaran, walaupun sudah banyak anak-anak Melayu menceburi bidang kerjaya yang lain, profesi guru, dan tentunya martabat guru, masih lagi mendapat perhatian besar, berbanding dengan profesi yang lain. Sewaktu dekad-dekad mendapatkan kemerdekaan Semenanjung Tanah Melayu, para guru (khasnya guru Bahasa Melayu) adalah komuniti inteligentsia Melayu yang paling besar dan berpengaruh dalam menggerakkan rasa kebangsaan di kalangan masyarakat Melayu.

Keguruan Pujangga

Kehebatan sesuatu peradaban itu tidak wujud dalam hampawa (vakum) maupun terus turun dari langit. Ianya adalah hasil penerokaan manusia dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, estetik dan religius. Sering kali, peradaban bangsa yang dibina itu dikaitkan dengan kebijakan raja itu dan ini. Namun jarang sekali disebut peranan yang dimainkan oleh sang guru yang memastikan keberlangsungan dan penakatan peradaban itu. Pujangga juga adalah guru kerana tatkala ia berkarya, berenung dan bermadah, ia juga mengajar. Tapi ia terbatas kepada lingkungan tertentu, khasnya dalam istana ataupun di kalangan keluarga feudal yang memerintah. Namun sumbangan mereka tetap terbukti kepada masyarakat kita hari ini, kerana mereka telah merakam sejarah, menurunkan hikmah (wisdom) kolektif masyarakat, betapapun ianya memperlihatkan bias kepada ideologi feudal. Peranan mereka, tentunya dipengaruhi dengan kondisi sejarah yang mereka hadapi, serta faktor penaung feudal. Ini bererti keterbatasan mereka untuk mengatakan pendapat mereka dengan bebas, ataupun untuk mengatakan perkara-perkara yang wujud di luar tembok istana.

Makanya, tidaklah menghairankan apabila kepedulian sang pujangga zaman yang lalu itu, cenderung kepada memperagung kedulian feudal itu sendiri. Sekali lagi betapapun ada keterbatasan ini, menyedari hakikat aturan masyarakat waktu itu, kepujanggaan zaman lalu telah memainkan peranan tersendiri untuk zamannya itu.45 Hari ini, masyarakat pantas berubah. Aturan masyarakat menjadi kompleks, begitu juga dengan cabaran dan masalahnya. Sesuatu yang telah wujud dalam sejarah itu, tiadalah dapat terubah lagi, namum tetap kita boleh merubah hari ini dan masa depan selagi berdaya.

Kalau dulu guru-pujangga tidak menjangkau kepedulian mereka ke luar kota raja, guru-intelektualhari ini, tidak dapat tidak, memikul tanggungjawab dan historical mission yang amat sangat penting. Jelasnya, guru intelektual hari ini tidak boleh lagi berwatak seperti pujangga zaman feudal itu. Mereka terpanggil untuk memimpin, mengarah, dan membentuk insan dan masyarakat menerusi pendidikan, serta terkedepan dalam aktivisme sosial, yang amat dibutuhkan dalam konteks masyarakat moden. Untuk masih lagi bersifat kepujanggaan hermetic, sepertimana pujangga silam, bukan saja suatu anakronisme tetapi juga membelakangi tanggungjawab dan amanah yang mereka sayugia pikul sebagai inteligentsia dalam masyarakat.

Intelektual Dan Masyarakatnya

Setiap masyarakat, baik dulu dan kini, baik kecil atau besar, baik maju mahupun membangun, memiliki sekelompok manusia berfikir dan terdidik yang digelar intelektual atau inteligentsia. Intelektual, menurut Syed Huseein Alatas, adalah seorang yang mengumuli pemikiran tentang idea dan masalah non-materi dengan menggunakan akal fikirannya. Inteligentsia pula menurut Karl Mannheim ialah social groups whose special task is to provide an interpretation of the world for society. Dalam hal ini, warga guru boleh dianggap sebagai intelektual ataupun inteligentsia dalam masyarakatnya.Soal utama yang harus diberikan perhatian bukanlah siapakah (atau di manakah) intelektual itu, tetapi apakah intelektual itu telah dan dapat berfungsi, sebagaimana yang dicitakan dan diperlukan dalam masyarakat itu tadi.

Edward Said, selayaknya beliau sebagai aktivis intelektual yang membantah segala bentuk pembelengguan ideologi, menyatakan bahawa tugas intelektual itu tiada lain, melainkan ianya membebaskan masyarakat dari segala macam otoriti yang mencengkam dan memperolok kemanusiaan. Dijelaskannya:

The role of intellectual is to say the truth to power, to address the central authority in every society without hypocrisy, and to choose the method, the style, the critique best suited for the purposes. This is so because the intellectual produces a kind of performance that continues for years, whose main goal isto give utterance not to mere fashion and passing fads but to real ideas and values.48

Lain perkataan, tertanggung di atas intelektual itu bukan saja memberi pimpinan idea dan pemikiran dalam masyarakatnya, tetapi juga memastikan bahawa mereka terus memenuhi tanggungjawab ini sebagai amanah, dan bukan pula berpihak kepada mana-mana kepentingan, jauh lagi untuk kepentingan peribadi mereka. Ini bertitik tolak atas kesedaran bahawa kemampuan untuk memahami golongan yang lain adalah aset paling berharga yang ada pada intelektual itu.49 Tambah lagi, mereka seharusnya memastikan bahawa mereka terus kritis atas diri atau kumpulan sendiri, sebagaimana mereka ke atas kelompok yang lain.50 Menjadilah ketentuan sejarah, bahawa misi historikal sang intelektual, tiada lain melainkan

48 Edward Said,Peace and Discontents. (New York: Vintage, 1996), h. 184-5. 49 Karl Mannheim, The Sociology of Intellectuals, Theory, Culture &

Society, Vol. 10(1993),h.77.

50 Karl Mannheim, Sociology of Culture, h. 170.

memastikan keberadaan dan kesejahteraan masyarakatnya terus mendapat perhatian. Beginipun jua yang dianjurkan Mannheim:

It is the high calling of the intellectuals, aided by their self-reflexive sociological orientation; to do what is necessary in this historical hour: to bring their self-consciousness to completion and lived according to its newly-won insights.

Sfera kerja intelektual bukan lagi boleh dibatasi di menara gading, melainkan dalam domain publik yang amat sangat memerlukan kepemimpinan dalam idea untuk aksi sosial. Sekali lagi, bagi Edward Said, speak truth to power, bertujuan to induce a change in moral climate. Makanya jelaslah, model intelektual yang bersifat kepujanggaan-kependetaan yang ensiklopedik, sudah tidak lagi memadai. Tanpa disedari, betapapun intelektual-pendeta itu dapat mengingat setiap segala yang ada dalam kebudayaan, ianya sering kali terbatas pada halhal yang diwarisi, bukan pula pada hal-hal yang manusia hadapi dan tantangi hari ini. Secara tidak langsung, budaya itu sendiri sudah disempitkan pada makna mutlak, dikosongkan daripada makna sebenarnya (budi-daya, menjadi budaya) sehingga ianya menjadi sesuatu warisan yang diperturunkan, bukan pula sesuatu yang baru diciptakan. Di sinilah terjadinya ossification budaya itu sendiri.54 Yang lebih menyedihkan ianya kegagalan intelektual untuk memberi panduan, arah dan huraian akan masalah yang masyarakatnya hadapi. Hal ini disinggung oleh Paulo Freire dengan tegas:

Intellectuals who memorize everything, reading for hours on end, slaves to the text, fearful of taking a risk, speaking as if they were reciting from memory, fail to make any concrete connections between what they have read and what is happening in the world, the country, or the local community. They repeat what has been read with precision but rarely teach anything of personal value. They speak correctly about dialectical thought but think mechanistically. Such teachers inhabit an idealized world, a world of mere data, disconnected from the one most people inhabit.55

Tanpa dihujahkan dengan panjang, kita maklum bahwa cabaran kehidupan hari ini berlainan, kalaupun tidak semakin kompleks. Proses pembangunan tentunya memperbaiki kehidupan manusia. Namun pada masa yang sama, bergerak di dalam proses pembangunan ini, ialah dehumanisasi, yang sering tersembunyi di balik kemajuan-kemajuan yang digilakan itu. Maka inilah keterpanggilan di pihak intelektual dalam masyarakat itu untuk dapat memberi panduan, teguran dan huraian akan apa yang masyarakatnya hadapi.

54 Anjuran Antonio Gramsci, pemikir kiri Itali, amat berguna: We must rid ourselves of the habit of conceiving culture as encyclopedic knowledge; a concept in which man is regarded as a mere receptacle to be stuffed full with empirical data and disconnected brute factsculture is something quite different. It is organization, discipline of ones inner self, a coming to terms with ones personality; it is the attainment of a higher consciousness by means of which one succeeds in understanding ones own historical value, ones own function in life, ones own rights and duties Joseph A Buttigieg, On Gramsci, Daedalus(Summer 2002), h. 68-9.

55

56 Paulo Freire, Pedagogy of Freedo: Ethics, Democracy, and Civic Courage. (New York: Rowman & Littlefield, 2001), h.34.

57

Guru Bahasa Mengkedepankan Wacana Kritis

Guru sebagai kelompok intelektual, adalah aset terpenting dalam masyarakatnya. Para guru pula seharusnya melihat ini bukan sebagai prestij tetapi suatu pertanggungjawaban yang terpikul di bahu dan pundak mereka demi membawa masyarakat ke tahap pembangunan yang bermakna. Paulo Freire, pelopor pendidikan kritis, menyimpulkan: No society can assert itself without developing its culture, science, research, technology, and teaching. And all this begins in elementary school.56 Ini tidak lain melainkan, pengiktirafan kepada kerjaya guru, sekaligus meletakkan tanggungjawab kepada warga guru itu sendiri.

Dalam konteks moden ini, tugas guru Bahasa Melayu tidak boleh lagi disempit atau dibiarkan terhenti di peringkat guardian of culture and language - melainkan sebagai intelektual awam atau intelektual transformatif. Makanya tugas mendidik tidak sepatutnya dilihat sebagai pemindahan ilmu pengetahuan dari guru kepada para pelajar, melainkan tugasnya menumbuhkan sikap dan nilai menghargai proses belajar mengaitkan kata dengan kita dan sekitarnya. Dalam sosiologi pendidikan Mannheim, hal ini dipertegas:

it is not merely a question of adapting men to a certain given level of development, but of producing individuals capable of developing the existing form of society beyond itself to a further stage The task of education, therefore, is not merely to develop people adjusted to the present situation, but also people who will be in a position to act as agents of social development to a further stage57

56 Paulo Freire, Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who Dare Teach. (Boulder, Colo.: Westview Press, 1998),h.38.

57

58 Karl Mannheim, Essays on the Sociology of Knowledge. (London: Routledge and Kegan Paul, 1952), h. 233-234.

59

Ertinya, penguasaan ilmu yang kental dan kepekaan realitas sosial harus dibina dan diperkuat dari masa ke semasa, termasuk mempunyai keberanian moral untuk menyuarakan sesuatu yang hak. Freire menjelaskan:

The teaching task is above all a professional task that requires constant intellectual rigor and the stimulation of epistemological curiosity, of the capacity to love, of creativity, of scientific competence and the rejection of scientific reductionism. The teaching task also requires the capacity to fight for freedom, without which the teaching task becomes meaningless.

Barang tentu ini tidak akan dapat tercapai sekiranya warga guru tidak dapat keluar dari kepompong kepuasaan kerjaya yang diatasnamakan oleh pengkhususan kerjaya (contohnya saya hanya sebagai guru Bahasa Melayu saja).

Domestikasi Bahasa

Dalam konteks, ekonomi pasaran bebas yang pantas melihat segala sesuatu dari keberhasilan dan keberuntungan ekonomi, (dengan kos pengeluaran yang terendah) maka tidaklah menjadi kehairanan bahawa potensi dan fungsi bahasa itu telah didomestikasikan (domesticate) bukan saja untuk memenuhikeperluan ideologi yang dominan tetapi juga, secara tidak langsung, terjadinya budaya pensenyapan, (culture of silence) kerana bahasa itu sendiri tidak dapat menampung gerakan pemikiran kritis dan ajuran-anjuran bersifat emasipatoris. Tambah lagi apabila dalam falsafah pendidikan yang memberati soal-soal teknis, daripada hal-hal yang substantif, maka terjadilah idea pendidikan yang kononnya bersifat neutral sehingga apa yang terjadi adalah menjalarnya pemikiran yang apolitical, asocial, ahistorical, dan amoral.

Dalam suasana intelektual yang malap, tambah lagi dengan himpitan keserakahan ekonomi pasaran bebas, tidaklah menghairankan apabila perkara yang instrumental (lawannya substantif) diangkat menjadi suatu yang besar, perkara yang remeh digendangkan tanpa kesudahan, asalkan ianya memenuhi keperluan dominan yang tertentu. Pada pendapat kami, inilah sebenarnya yang berlangsungan hari ini di kalangan kita. Soal sebutan baku, struktur tatabahasa, ungkapan tradisional, laras kata, penukaran kod, slanga masih lagi menjadi minat besar kita, seolah-olah nasib bahasa ini terletak pada perkara-perkara ini. Tentulah, kepedulian para pendidik tentang hal ini tidaklah semuanya bersalahan, tetapi ini amat bermasalahan sekiranya kepedulian ini menjadi suatu obsesi, sehingga meminggirkan perkara atau masalah yang lebih besar.

Juga, sayang sekali kalau bahasa itu hanya dilihat sebagai aset komunikasi untuk kegiatan ekonomi, khasnya pada bahasa yang digunakan dalam perekonomian tertentu, ataupun sebagai bahasa ibunda yang berguna untuk menurun nilai budi sesuatu masyarakat. Ertinya fungsi bahasa dibatasi, dineutralkan, dijadikan sekadar alat komunikasi manusia, tanpa ada kesan atau berkesan tatkala manusia mencari makna dalam kehidupannya. Jelas apabila bahasa itu dikosongkan dari fungsi sosial, politik dan kemanusiaan manusia, maka mudah sajalah keneutralan pemikiran bermaharajalela, sedangkan ideologi refgresif yang lain masuk mendominasi pemikiran kita. Sebaliknya, kita harus memastikan bahawa bahasa itu sebagai pengungkapan manusia yang membolehkan ia untuk menyedari bahawa dari wahana bahasa itu, bukan saja terselindung ideologi yang memerangkap, namun juga dari bahasa itu sendiri dapat kita keluar daripada kebelengguan itu. Sahutan oleh Aronowitz dan Giroux sayugia diperkirakan:

Developing a language that can question public forms, address social injustices, and break the tyranny of the present.teachers need a language of imagination, one that insists on consideration of the critical means for developing those aspects of public life that point to its best and as yet unrealized possibilities, and acts to enable such consideration.61

Guru intelektual harus sedia untuk menjangkau lebih daripada kepedulian dan kemampuan berbahasa dengan baik (yang sering diukur berdasarkan kepetahan dan kesantunan) tetapi melihat bahasa itu sebagai wadah untuk menampung

dikecewakan ialah kita telah menyempitkan peranan dan kemampuan guru sebagai intelektual dalam masyarakatnya.

61 Stanley Aronowitz dan Henry A Giroux, Postmodern Education: Politics, Culture, and Social Criticism. (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1990), h. 109.

pemikiran yang utuh untuk mempersiapkan manusia dalam aturan kehidupan moden yang serba mencabar. Kalau sekadar mengaitkan bahasa sebagai salah satu identiti budaya/bangsa, sebenarnya kita telah memperkecil keupayaan bahasa itu sendiri. Pendapat James Donald baik diperturunkan:

I take language to be productive rather than reflective of social reality. This means calling into question the assumptions that we, as speaking subjects, simply use language to organize and express our ideas and experiences. On the contrary, language is one of the most important social practices through which we come to experience ourselves as subjects. My point here is that once we get beyond the idea of language as no more than a medium of communication, as a tool equally available to all parties in cultural exchanges, then we can begin to examine language both as a practice of signification and also as a site for cultural struggle.

Kepedulian Intelektual Publik

Sebagai intelektual publik, tugasnya guru intelektual tentunya banyak tertumpu pada sekolah, namun tetap ia cergas memantau apa yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia tidak segan silu untuk terkedepan untuk menyatakan yang hak, dan menegur yang bathil, sedang ia saling berempatis akan masalah yang dihadapi itu. Seperti mana yang diidamkan Said: Intellectuals should be the ones to question patriotic nationalism, corporate thinking, and a sense of class, racial, or gender privilege. Sekiranya para sosiologi dipanggil untuk memasyarakatkan sosiologi ke dalam lapangan publik, maka begitupunlah hendaknya para guru, untuk memasyarakatkan ilmu dan perspektif yang mereka ada kepada khalayak yang lebih ramai, iaitu menjangkau keluar dari domain sekolah, dengan bermatlamat menyumbang ke arah pencerahan dan pendidikan publik.

Anjuran supaya intelektual publik terkedepan dalam masyarakat hari ini amat sangat diberi perhatian oleh Edward Said.

The intellectuals role generally is dialectically, oppositionally, to uncover and elucidate contest...to challenge and defeat both an imposed silence and the normalized quiet of unseen power wherever and whenever possible. For there is a social and intellectual equivalence between this mass of overbearing collective interests and the discourse used to justify, disguise, or mystify its working while also preventing objections or challenges to it.65

Intelektual transformatif/publik itu menjangkau makna konvensional yang meletakkan tugas intelektual itu sebagai kemampuan untuk menganalisa kepentingan-kepentingan yang wujud dalam masyarakatnya serta kontradiksi di dalamya. Selain kemampuan ini, intelektual publik tadi diperlukan untuk mengartikulasi kemungkinan-kemungkinan emansipatoris, serta mengrealisasikan jalan keluar yang ia gagaskan itu; langusung dapat bergerak keluar, masuk ke dalam domain awam, berpartisipasi guna merencana perubahan yang diinginkan. Lain perkataan, intelektual transformatif ini mirip dengan apa yang dikemukan oleh Syed Hussein Alatas berkenaan intelektual berfungsi yang menunjukkan empat ciri utama. Ianya adalah: (a) pengajuan masalah dalam masyarakatnya (b) pentakrifan masalah itu; (c) menganalisis masalah itu, dan (d) mencari jalan penyelesaian masalah itu. Dan apabila kita menyebut guru sebagai intelektual transformatif, ertinya guru yang melihat bahawa anak-didiknya itu sebagai critical agents, question how knowledge is produced and distributed, utilize dialogue, and make knowledge meaningful, critical, and ultimately emancipatory. Sayugia ditambah, bahawa guru intelektual transformatif itu adalah:

one who exercises forms of intellectual and pedagogical practice which attempt to insert teaching and learning directly into the political sphere by arguing that schooling represents both a struggle for meaning and a struggle over power relationsto one whose intellectual practices are necessarily grounded in forms of moral and ethical discourse exhibiting a preferential concern for the suffering and struggles of the disadvantages and oppressed.

Apabila kita mengatakan guru sebagai intelektual transformatif bukanlah ianya suatu penetapan (ataupun automatis), melainkan juga suatu potensi untuk menuju ke arah itu. Dan apabila kita mengatakan guru intelektual ianya tidak boleh dihadkan kepada linkungan sekolah saja, iaitu guru yang dapat mengajar dengan berkesan kepada anak didiknya, jauh lagi untuk memastikan kejayaan cemerlang akademik mereka saja. Sikap laissez-faire di pihak guru sebenarnya tiada tempat dalam kepedulian intelektual transformatif atau inteklektual publik: R.S. Peters beranggapan bahawa para guru tidak boleh membenarkan apa yang dimahukan oleh sesiapa atas kehendaknya sendiri dengan alasan ianya tidak menyukarkan orang lain. Sebaliknya menurut beliau, to adopt this laissezfaire attitude in a school would be to abdicate as an educator. Caretakers, maybe, can adopt such an attitude, but not teachers.

Dalam pengertian intelektual transformatif, sang guru itu bukan saja kreatif dalam proses pembelajaran tetapi kritis tentang apa yang mereka berhadapan dalam masyarakat. Mereka prihatin bukan saja pada anak didik mereka, tetapi juga kepada masyarakat sekelilingnya, khasnya mereka yang tidak berdaya dan tertinggal. Lain perkataan, guru yang bukan saja gah dengan perkembangan pendidikan/pedagogi terkini, tetapi juga awas dengan segala perkembangan semasa yang mungkin pada hakikatnya boleh memerangkap dari membebaskan manusia moden hari ini.

Kalau kita mengatakan bahawa pertanggungjawaban etika-intelektual itu tertanggung pada warga guru itu, maka haruslah kita juga menerima hakikat bahawa kerja itu bukanlah sesuatu yang mudah, jauh lagi boleh diukur dan usahlah pula dinantikan imbuhan atau pengikhtirafan. Wajarlah apabila Chomsky menyebut: The job the honest intellectual is to help our people who need help; to be part of the people who are struggling for rights and justice. Thats what you should be doing. But of course, you dont expect to be rewarded for that.

Selagi kita hanya digendangkan bahawa guru bahasa Melayu itu sebagai model atau paragon kebudayaan kita, (yang sering kali takrif kebudayaan itu telah disempitkan pada tingkat warisan yang telah diperturunkan oleh generasi yang terawal) ini bererti kita telah membatasi, pertanggungjawaban dan kemampuan guru itu sendiri, selain kita telah menetapkan bahawa keotentikan kebudayaan itu ada di tangan mereka. Anjuran seperti ini tentunya tidak salah, tetapi ianya suatu klise yang memperlihatkan pemikiran yang tidak mahu menjangkau keluar, jauh lagi mahu menyahut cabaran yang baru. Salah satu cabaran yang akan timbul, dalam apa jua masyarakat yang melalui proses pemodenan dan industrilisasi yang rancak, ialah terjadi suatu kondisi ketidakbermaknaan (meaninglessness) yang dirasakan dalam kehidupan. Bagi kami, inilah cabaran yang semakin genting dan persiapan para guru dan pemimpin agama, untuk tampil ke hadapan untuk memikirkan dan memantau bersama tentang perkara sebelum ia membelenggui kehidupan kita.

Guru-Intelektual Dan Visi Sosiologikal

Di sinilah letaknya pendedahan sosiologikal amat sangat diperlukan oleh warga guru, selain afirmasi guru itu akan faktor spiritualitas dan etika agama yang universal dapat memberi kita arah panduan dalam mengharungi kehidupan yang mencabar kini, teristimewa lagi cabaran yang dihadapi oleh anak didik kita. Visi sosiologikal itu bererti para guru bukan saja dapat merealisasikan idea kebudayaan yang abstrak, seperti humanisme atau pengkhusasan teknikal, tetapi juga [pendidikan] itu sebagai suatu proses untuk mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya akan difahami apabila kita tahu apakah jenis masyarakat dan untuk apakah posisi sosial anakanak kita itu dididik. Lantas, memikirkan jenis manusia apakah yang kita ingini adalah kesediaan intelektual yang guru terlebih dahulu harus diperlengkapkan.

Peri pentingnya pemikiran sosiologikal itu, bukan saja kepada warga guru, agar mereka sedar dan kritis akan tugas, keistimewaan dan keterbatasan mengajar, tetapi juga menanamkan pemikiran sosiologikal kepada anak didik mereka. Maksudnya di sini bukanlah mengajar mereka sosiologi secara ilmiah, tetapi menanamkan sifat berfikir dan merenung akan persoalan masyarakat sekeliling secara kritis serta bertanggungjawab untuk cuba menghuraikannya. Makanya apabila Mannheim menegaskan bahawa, [no] educational activity or research is adequate in the present stage of consciousness unless it is conceived in terms of a sociology of education, penegasan ini masih lagi belum mendapat perhatian bersungguh, bukan saja di pihak warga guru, tetapi juga penggubal dasar.

Setakat berlaungan bahawa guru harus memiliki semangat perjuangan kental, sepertimana yang ditunjukkan oleh para guru pada dekad-dekad awal yang lalu, tidaklah mencukupi. Sebaiknya juga, dan sudah sampai masanya pula, kita menggerakkan kesedaran intelektual warga guru, bahawa dengan semakin kompleks aturan dan cabaran masyarakat, pencermatan dari sudut sosiologikal amat perlu sekali. Ini kerana:

One can understand the contemporary world in its rapid change only if one learns to think sociologically, if one is capable of understanding changes in ways of human behaviour by reference to the changing conditions of society. This, however, also requires acquaintance with recent findings in psychology and philosophy.

Seharusnyalah, pendidikan guru itu sendiri tidak boleh berakhir dengan tamatnya pengajian mereka di maktab perguruan atau universiti. Kalau guru mahu menjadi pendidik yang berkesan, terlebih dahulu tertanggung oleh mereka, menekuni soal-soal intelektual, etika dan hal-ehwal semasa dengan teliti. Jelasnya, menjadi tanggungjawab sang intelektual itu sendiri bahawa ia harus mengumuli soal intelektual secara konsisten, menyedari hakikat bahawa tugas mengajar itu harus didahului dengan proses belajar. Menurut Mannheim, golongan intelektual seharusnya, recognize that his intellectual identity prescribes certain duties: he must learn to cherish the fact of his intellectual education as an obligation. Giroux pula menambah:

all critical educators are also learners. This is not merely a matter of learning about what student might know; it is more importantly a matter of learning how to renew a form of self-knowledge through an understanding of the community and culture that actively constitute the lives of ones student.

Sebagai contoh, bukan saja guru dapat menyiapkan bahan pengajaran yang lebih kreatif, tapi dapat menyampaikannya, menerusi teknik dialog, kepada para pelajar dengan matlamat menumbuh pemikiran kritis mereka. Tema pembelajaran yang berkisar pada kehidupan harian mereka harus diberikan keutamaan. Antaranya ialah bagaimana golongan muda terdedah pada pengiklanan dalam media yang agresif dan semakin jelasnya, tanpa disedari, sistem pendidikan itu sendiri, memihak kepada pembentukan warga-pengguna (consumer-citizen).75 Ini memerlukan bukan setakat bacaan santaian sendiri-sendiri, tetapi inisiatif konsisten persatuanpersatuan guru untuk memperlengkapkan para ahlinya dengan pendedahan dan kesedaran intelektual yang ampuh.76 Kalau para guru mungkin dulu pernah, sedikit sebanyak, terdedah dengan sosiologi pendidikan (sociology of education) sewaktu latihan perguruan, kini sudah sampai masanya warga guru mendalami dan menekuni sosiologi untuk pendidik (sociology for educators).77 Sesungguhnya intelektual transformatif itu adalah pengkritik, penganalisa, penilai yang berterlibat (engaged) they are partisan, not doctrinaire. Terkandung dalam pengertian transformatif, bukan saja adanya keanjalan pemikiran dan kemampuan keboleh-berubahan, tetapi juga kepedulian untuk mengetahui (mendalami), mengajari dan mempelajari. Mereka berpegang akan suatu gagasan idea, meyakininya, dan sanggup pula mendebatkan idea secara terbuka. Mereka sedar akan keyakinan yang mereka berpegang dan berkemampuan untuk melaksanakan idea-idea secara praktis. Sepertimana yang diyakini oleh seorang pendidik:

75 Untuk perbincangan tentang perkara ini, sila rujuk Joel Spring,

76

Educating the Consumer-Citizen: A History of the Marriage of Schools, Advertising, and Media. (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 2003).

77 Justeru itu, dalam segi pendedahan guru kepada perkembangan sains sosial seharusnya dijadikan sebagai usaha sokongan pada guru muda. Sekadar berkongsi pengalaman dan bahan pengajaran, para guru juga memerlukan peer support, a strong will, and clear convictions, as well as a large bag of tricks, thoughtful pedagogy, and abiding love for children... Rujuk Herbert Kohl, Developing Teacher for Social Justice, Radical Teacher, No. 65, (www.

78

radicalteacher.org/text/archives/65.pdf) (diakses pada 11 Juli 2012).

79 Rujuk Karl Mannheim, Sociology for the Educator and the Sociology of Education, Sociology and Education.(Malvern: LePLay House Press, 1944).

80

In cultivating a pedagogy for liberation, we should hope that we enable students to engage in critical, open dialogue in relation to their lives abd others live. Teaching for liberation thus requires vigilance and work, for it demands that we remain open to the examination of our own lives as well as others whom we seek to understand. If we wish to become more adept at engaging students with the contents of our discipline, we must learn how to critically reflect on the ways in which we ourselves became engaged in and/or disengaged from learning about the world which we live78

Pedagogi Kritis Dan Pemberdayaan

Transfomasi

Tetapi apakah yang membedakan tugas ini dari para intelektual yang lain Peranan penting guru tiadalah dapat dipersoalkan lagi kerana:the teaching profession alone has the primary responsibility to educate critical citizens whereas we might argue that the first responsibility of, say the medical profession, is healing. Educators have a public responsibility that is by very nature involves them in the struggle for democracy. This makes the teaching profession a unique and powerful public resource.79 Sebagai guru intelektual, mereka diperlukan bukan saja untuk mengajar anak dengan baik, tetapi menerapkan pedagogi kritis guna membentuk kesedaran substantif yang dapat berfikir secara kritis dan kreatif. Bukan saja guru seharusnya mengetahui tentang perkembangan besar dalam dunia pendidikan, tetapi

78

David Alan Long, Sociology and A Pedagogy for Liberation: Cultivating A Dialogue of Discernment in Our Classrooms, Teaching Sociology, Vol. 23(1995). 79 Henry Giroux, The Hope of Radical Education: A Conversation with Henry Giroux, Journal of Education, Vol. 170, No. 2(1988), h. 97.

juga mereka terpanggil menyumbang ke arah penggubalan kurikulum agar ianya berjalan segandingan dengan keperluan masyarakat, dan pada masa yang sama, terarah untuk menawarkan solusi ke atas masalah semasa yang dihadapi dalam masyarakat. Ertinya, penggubalan kurikulum, guru intelektual harus terkedepan bukan saja memberi maklumbalas tetapi saling menambah apa yang jarang diperkata atau yang tak terfikirkan (unthought of) Antara perkara pokok yang boleh diberikan perhatian ialah persolan ketidakbermaknaan yang menjalar kehidupan moden hari ini. Sepertimana yang pernah disebut oleh P.H. Phenix, The way lies in recognizing the centrality of meaning in human life and in creating a curriculum deliberately designed to overcome the prevalent forces of meaninglessness.80

Sebelum analisis seperti ketidakbermaknaan dapat difahami secara tuntas, kita amat memerlukan warga guru yang memiliki orintasi dan imaginasi sosiologikal. Ini kerana menerusi sains sosial, kita akan dapat memahami aturjalan dan struktur dalam masyarakat, serta mengambil kira faktor sejarah, sosio-budaya yang telah mewarnai kehidupan hari ini yang kian mencabar. Mannheim mengingatkan: at least the leaders of the nation, among them the teachers, should be educated in a way which enable them to understand the meaning of change,81

Namun, memikul pertanggungjawaban intelektual ini, bukan bererti menjadikan guru terlepas dari pertanggungjawaban asas untuk memastikan anak didik mereka itu menerima perhatian dalam hal akademik mahupun pembangunan sahsiah mereka. Yang terakhir ini, sama sekali tidak boleh terabai. Tugas sang guru, sebagai orang dewasa,

80 Philip Henry Phenix, Realms of Meaning:A Philosophy of the Curriculum for General Education.(New York: McGraw-Hill, 1964), h. 5.

81

Dipetik dalam Gunter M. Remmling, The Sociology of Karl Mannheim.(London:

Routledge and Kegan Paul, 1975), h. 120.

memahami para pelajar, yang dalam tahap anak-anak atau belia-remaja, memerlukan keprihatinan akan perkembangan psikologi dan biologi yang mereka sedang lalui. Sebagaimana Bruno Bettelheim menyimpulkan:

The teacher must set an example of the continuous critical examination and intellectual mastery of problems and, at the same time, of true interpersonal relationships based on the help that he extends to others in their intellectual and emotional problems. What is more, the teacher must accept students as individuals in their own rights, so that he may learn never to consider man as a means but always as an end.82

Mengusul supaya guru terkedepan menjadi intelektual transformatif yang turun padang sebagai intelektual publik adalah suatu anjuran yang naf sekiranya kita enggan memperkatakan rintangan yang tidak membenarkan hal ini berlangsungan. Kesempatan yang terbatas tidak membenarkan kita untuk mengupaskan perkara ini lebih lanjut, sekadar mengatakan bahawa para guru sendiri, waktu ia mendapat latihan di institusi perguruan, tidak mendapat pendedahan yang berkesan akan keperluaan masyarakat kontemporari. Dengan penekanan khas agar guru mahir dalam menjayakan literasi yang umum bersifat instrumental,83 maka terabai pula penerapan

82

Baca, Bruno Bettelheim, The Social-Studies Teacher and the Emotional Needs of Adolescents, The School Review, Vol. 56, No. 10 (1948), h. 592.

83 Penekanan khas lepada pedagogi instrumental dengan sendirinya melumpukan pedagogi kritis. Donaldo Macedo menjelaskan: Intrumentalist literacyprevent the development of critical thinking which enables one to read the world critically and to understand the reason and linkages behind the facts ...[it] functions to domesticate the consciousness via a constant disarticulation between the reductionistic and narrow reading of ones filed of specialization and the reading of the universe within which ones specialism is situated. Rujuk, Donaldo Macedo, Preface, Politics of Liberation: Paths from Freire.(London:

pemikiran sosiologikal, yang malang sekali dianggap terlalu intelektual ataupun difikirkan di luar batasan profesionalisme guru itu sendiri. Demikianlah juga pendapat seorang pengkritik pendidikan, Lilia I. Bartolome menggambarkan serba sedikit apa yang berlangsungan hari ini:

Transforming educators conscious and unconscious beliefs and attitudes regarding the legitimacy of the dominant social order and of the resulting unequal power relations among cultural groups at the school and classroom level has, by and large, historically not been acknowledged in mainstream teacher education programs84

Kami rasakan ini amat perlu sekali, dan perancangan harus dibuat sekarang, khasnya di tingkat penggubalan pendidikan guru pelatih.85 Mengadakan bengkel bahasa dan sastera untuk guru, harus turut sekali disegandingkan dengan bengkelbengkel pendedahan sains sosial untuk guru. Sekiranya tidak, kepedulian guru itu masih di sekitar soal kebahasa-bahasan dan kesastera-sasteraaan.

Tugas guru intelektual sebagai intelektual publik memerlukan persiapan dan pembudayaan pemikiran yang kritis dan diagnostik. Pendedahan guru pada pedagogi kritis yang liberatif (sebagaimana yang dianjurkan Freire dan rakan-rakannya) adalah sangat diperlukan. Bukan saja penguasaan pada

Routledge, 2004), h. xvii.

84 Lilia I. Bartolome, Critical Pedagogy and Teacher Education:

Radicalizing Prospective Teachers, Teacher Education Quarterly(2004), h. 99. 85

Antara cabaran penggubalan kurikulum untuk guru pelatih dalam konteks kapitalisme neo-liberal, sila rujuk Henry A. Giroux and Peter McLaren, Teacher Education and the Politics of Engagement: The Case for Democratic Schooling, Breaking Free,the Transformative Power of Critical Pedagogy.(Harvard: Harvard Educational Review, 1996).

pedagogi kritis dapat diterapkan tatkala guru mengajar anakdidiknya, tetapi daripada perspektif pedagogi kitis ini (antara lain pendekatan hadap-masalah dan kejelasan pada praxis, iaitu keterjalinan antara teori dan praktis) akan dapat memberi kesedaran kukuh pada warga guru akan cabaran yang dihadapi masyarakat dan bagaimana pula dapat diikhtiarkan mencari jalan keluar. Lain perkataan, pedagogi kritis yang menganjur kepada pemberdayaan intelektual adalah suatu upaya yang tidak boleh sekali diremehkan.

Spiritualitas Dan Pemberdayaan Tekad Dan Usaha

Telahpun kita maklum, bahawa teramanah ke atas guru itu untuk memastikan anak didiknya itu dipupuk dengan minda intelektual dan rasa kerohanian yang terbuka. Tentulah sebelum ini berlangsung, sang guru itu tadi harus terlebih dahulu mengumuli persoalan persediaan, bukan saja minda intelektual, tetapi juga afirmasi spiritual yang teguh. Pengalaman pada dan kesentuhan oleh spiritualitas sayugia mengundang sang guru untuk merasa rasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan di sekeliling mereka., justeru itu pada diri mereka itu sendiri. Sebagaimana, bell hooks, seorang intelektual Afrika-Amerika, pernah meningatkan:

We bear witness not just with our intellectual work but with ourselves, our lives. Surely the crisis of these times demands that we give our all [However] all of the work we do, no matter how brilliant and revolutionary in thought or action, loses power and meaning if we lack integrity of being.

Makanya bagi beliau: persekolahan yang tidak menghormati keperluan spiritualitas akan terus menghilangkan rasa keberadaan hidup dengan lebih intens, tanpa ada kemampuan untuk membuat pertalian dengan kehidupan disekelilingnya.88 Sekiranya input spiritualitas dapat membantu pemberdayan guru sebagai intelektual transformatif, maka ini bererti bahawa

our educational concern should be to encourage students to reflect on the spiritual emptiness of a culture so preoccupied with materialistic goals and superficial measures of human worth. We should want young people who can engage in the profoundly important quest for the way to live a life of purpose and meaning that is neither materialistic or shallow. The education we must offer speak honestly to the brutal manner in which human beings have so often dealt with human differences and the need to find ways to address conflicting relationships through non-violent and non-dominating means. Schools need to be places that can manifest relationship that do not emulate the usual hierarchical, competitive, and individualistic forms - places where young people learn of the value of caring and cooperative relationships based in mutual respect and equality.89

Sesungguhnya, dipertegaskan sekali lagi bahawa spiritualitas yang kami maksudkan di sini bukanlah yang pada diri seorang itu saja, melainkan ada keterkaitan antara diri dengan linkungan yang lainnya. Kalau di atas tadi kita telah menyebut tentang pertanggungjawaban etika pada golongan

Routledge, 2003), h.164.

88 Ibid., h.180.

89

90 Svi Shapiro, Education and Moral Values: Seeking a New Bootom

91

Line, Tikkun, Vol. 20, No. 2 (2002), h. 24.

guru-intelektual, perkara kedalaman spiritualitas juga akan membantu keberlangsungan fungsi intelektual transformatif. Sebaiknya kita menukil takrif spiritualitas yang dianjur oleh seorang penulis:

spirituality connotes, first of all, a quality of lived experience rather than a mode of knowing, though obviously such living involves reflection and may include profound cognitive interestssuch living involves some sense of self transcendence, not necessarily toward god or higher power, but certainly beyond the narrow, selfish confines of ego; and is rooted in the knowledge that human nature involves a radical openness, or a radical non-coincidence with itself that is the ground of hope, humility, and growth, but also of moral evilFurther, spirituality entails the pursuit of the highest values commensurate with ones particular calling, personality, culture, and religious orientation...90

Lain perkataan, spiritualitas bukanlah sesuatu keabstrakan, ataupun setakat interiority pada tingkat peribadi, melainkan ia adalah rasa kepedulian untuk mencari kepuasan dalaman, dan ini akan bermakna sekiranya ianya bersegandingan dengan kepedulian pada kehidupan di sekelilingnya, dan apabila ia diaktualisasi. Kebutuhan pada Rahmah Transenden, bukanlah bererti pemalingan daripada sesuatu yang konkrit, iaitu sesuatu yang membumi dalam kehidupan ini.

Di sinilah letaknya signifikan afirmasi spiritualitas guna keberlangsungan guru sebagai intelektual transformatif,

90

Rujuk Ignacio L. Gotz, On Spirituality and Teaching, Philosophy of Education. (Urbana, Ill.: The Society, 1997).Juga baca, David Purple,The Moral and Spiritual Crisis in Education.(New York: Bergin and Garvey, 1989).

kerana, sifat spiritualitas itu sendiri bermakna pencarian yang bermatlamat mempertingkat dan memperdalam makna kehidupan ini. Sekadar kita mempertekankan bahawa guru perlu ada persiapan intelektual yang ampuh serta kepedulian pada persoalan kebudayaan, ternyata belum mencukupi, selagi persoalan spiritualitas, sebagai nadi yang menggerak kemanusiaan kita tidak diberi perhatian. Lantas wajarlah apabila David Purpel dan Svi Shapiro menulis:

As educators, we must stand fast in our faith that understanding and insight are vital for liberation and that the development of intellectual capacities for this purpose remains a central concern. However, our view of education is that its process must extend beyond the intellectual realm sincehuman do not learn to live and love by intellect alone. We as a people respond also to the rhythms of the body, the light of the soul, and the voices of the spitrit.

Guru Dan Pembudayaan Keterbukaan,

Toleransi Dan Pluralitas

Kalau tadi kita menyebut, guru melihat tugasnya merangkumi kepedulian spiritualitas, ianya sayugia dibedakan daripada kecenderungan mengamal dan memihak pada sesuatu orientasi keagamaan yang ekslusif sifatnya, kerana ianya sendiri berlawanan dengan keterbukaan spirtualitas yang kita sebutkan di atas tadi. Di saat-saat ketaksuban idea dan rasa defensive apabila identiti agama kita dipalitkan dengan penjenayahan keganasan, guru tidak dapat tidak terpanggil untuk: (a) memperbetulkan prejudis manusia yang senang mencari kambing hitam sebagai sasaran kebenciannya; (b) mengafirmasi moral restraint dalam keadaan saling tuduh dan saling berdendam dan (c) menepis segala bentuk dogmatisme yang datang menjelma dalam berbagai aliran pemikiran baik agama, kebudayaan, politik dan sebagainya. Seorang pendidik pernah menulis:

We need an approach to education that accords with our human condition, one that can reminds us of our falliability Our predilection toward fanaticism. One way to do this is to employ and encourage a critical approach. Teachers could present our current answers and solutions to human problems as something created by fallible men; not as something to be accepted or give thanks for, but something to be continually improved. Teachers could invite students to encounter what is presented critically to uncover its inadequacies. Encouraged to be critical toward all that man has created, student will not seek the answers and solutions to human problems. They will continually look for better answers and solutions. A critical approach is one guarantee (there are no sure guarantees) against fanaticism, one way (if we are lucky) to advance knowledge, to improve society.94

Pendek kata, guru yang hanya bersembunyi di sebalik kerja specialistnya sebenarnya membelakangi tugas intelektualnya dalam masyarakat. Inilah yang harus kita tangani hari ini. Lain perkataan, dari masa ke semasa, warga guru kita harus diberikan, bukan saja latihan teknik seperti kemahiran membaca, bengkel menulis dan semacamnya itu, tetapi juga pendedahan kepada pengetahuan sains sosial terkini, kerana daripada perspektif sains sosial, para guru akan dapat melihat permasalahan dalam kelas itu, bukanlah suatu fenomena yang isolated, melainkan ianya memanifestasikan masalah yang lebih besar yang dihadapi masyarakat dan negara.95

Pemaknaan Ilmu Untuk Kehidupan

Di pihak diri guru itu sendiri melihat ilmu sebagai suatu keperluaan untuk memberi kesempurnaan dan makna kepada peribadi seseorang, iaitu ilmu sebagai penakrif perwatakan peribadi dan moral-etis seseorang. Justeru itu, menimba ilmu menjadi proses yang berterusan dalam kehidupan.96

Persekolahan bukan setakat melatih generasi muda untuk

94

Sila Baca, H.J. Perkinson, Fanaticism: Flight from Falliability, ETC (Summer, 2002).

95 Maka bertepatan apabila Mannheim menganjurkan: At the moment we have to aim the creation of a pioneering elite among our best teachers, clergymen, youth movement leaders, and anyone who has to do basic work in the field of education, in order to give them an orientation based upon sociological knowledge, in the hope that this will bring more unity and purpose in their action. Karl Mannheim,An Introduction to Sociology of Education, h. 166. 96 Sepertimana yang dirakam dalam hadith bahawa Rasulullah bersabda: Tiadalah hari di mana tiada aku belajar sesuatupun, adalah sebahagian daripada hidupku.

partisipasi dalam ekonomi tetapi juga persekolahan sebagai sfera untuk menanam kesedaran sivik dan demokrasi. Ertinya, guru sebagai pengaju dalam mengungkapkan persoalan etis-moral dalam masyarakat, akan memperkenalkan ungkapan moraletis kepada anak didik mereka yang membenarkan mereka berfikir jalan terbaik untuk membina masyarakat, berpasak dengan ingatan: What is of fundamental importance here is our conception of humanity and human capacities and our recognition of those ideological and material constraints that restrict human life for all Dalam hal ini, visi sosiologikal yang diagnostik, diganding dengan sosiologi pendidikan amat sangat penting, sebagaimana dianjur Karl Mannheim sendiri:

Those who teach and have something to impart need to be trained to assimilate and to interpret correctly the minds of those to whom they speak. In this the new discipline of the sociology of knowledge, which studies systematically different existing frames of mindand of sociology of education, which studies the concrete condition in which education takes place, can be of great help.

Guru Dan Penciptaan Budaya Dinamis

Dalam kehidupan masyarakat moden yang mencabar ini, tentunya diperlukan para guru sebagai inteligensia dalam masyarakatnya (berfungsi sebagai intelektual transformatif) untuk terkedepan untuk memastikan penyebaran kreatif (creative dissemination) demi keberlangsungan budaya yang dinamis. Ini kerana warga gurulah medium atau perantara di antara idea-idea yang dicetuskan dari golongan pemikir kepada khalayak ramai, teristimewa pada generasi baru, iaitu anak didik mereka sendiri. Beginilah Mannheim berpendapat:

The future of culture depends not only on our ability to guarantee the conditions of survival for original thinkers at higher levels, but also on our inventiveness in finding new forms for the dissemination of the substance of culture without diluting.

Jika ini tidak dilakukan, perkembangan budaya menjadi lembab, tidak bermaya malahan tidak dapat membuat penyesuaian kreatif tatkala persekitaran sosio-ekonomi dan politik berubah dengan cepat. Tugas dan tanggungjawab memastikan adanya penyesuaian kreatif ini sayugia dipikul oleh inteligentsia dalam masyarakat itu sendiri. Sebagai pentakrif, peneroka, pemantau serta pelaku dalam budaya, maka tugas ini tidak boleh diringankan. Kalau mereka alpa, tidak ada visi intelektual jauh lagi keterpanggilan memikul tanggungjawab moral-etis, maka budaya itu akan lemah, mundur dan kaku. Apabila ini berlaku maka tiadalah budaya itu dapat memajukan ahli-ahli masyarakat di dalamnya.

Warga guru, khasnya guru Bahasa Melayu mempunyai tugas yang besar demi memastikan bukan saja anak didiknya maju dalam pelajaran, tetapi yang lebih penting lagi mempunyai kesedaran sosial yang ampuh. Guru Bahasa Melayu sebaiknya tidak melihat tugas mereka hanya sebagai pendidik bahasa dan budaya. Kalau guru Bahasa Melayu itu hanya mempunyai kepedulian mengajar dan mempertingkat mutu bahasa, maka usaha mereka itu akan tinggal latihan memperbaiki pengunaan bahasa dengan baik dalam situasi formal, tetapi tidak pula mempertingkatkan kemampuan pelajar/manusia untuk mengungkapkan segala pengalaman hidup mereka. Makanya terjadilah jurang besar, bahasa sekolah yang teliti akan ragam dan struktur bahasa, tetapi setakat boleh berfungsi dalam domain tersebut. Di luar domain itu, penggunaan bahasa itu menjadi berkecelaru, kalaupun tidak, tiada dapat menampung (dari aspek konsep dan perbendaharaan kata) dalam mengungkapkan fenomena atau pengalaman pelajar dalam sesuatu domain itu. Juga kalau guru asyik mengeluh bahawa anak didiknya sudah lagi tidak tampil dengan kebermelayuaannya, yang termaklum sering kali dilihat dari sifat luarannya saja, makanya kami rasa kepedulian yang para guru luahkan itu, masih berlegar dalam tingkat prioritas kepedulian yang berkulit saja. Sayugia jatidiri Melayu itu dikaitkan bukan setakat manifestasi luarannya saja, tetapi yang lebih penting ialah komitmennya manusia Melayu itu kepada nasib, cabaran dan arahtuju bangsanya.

Pembudayaan budaya dinamis tentunya memerlukan daya fikir yang kritis dan kreatif dan bervisi jauh, bukan saja merancang ke arah yang ideal, tetapi juga terpanggil untuk membetulkan hal-hal yang tidak beres dalam masyarakat. Tambah lagi, perlu ada komitmen sosial yang tinggi yang tergerak mengemansipasi pemikiran masyarakat. Tetapi komitmen ini hanya akan bermakna dan berkesan sekiranya individu itu terlepas dari belenggu kesedaran palsu. (false consciousness) Ini memerlukan kesedaran dan kemahuan untuk tidak apolitikal, ahistorikal dan asosial, iaitu mensenyapkan faktor-faktor ini dengan alasan pendidikan seharus dibersihkan atau berneutral dari itu semua.

Dalam hal ini, kemampuan guru mengaitkan pembelajaran dalam kelas dengan realitas sosial di luar. Maksudnya, memperingatkan perlunya kaitan teks dan konteks serta menghubungkaitkan the Word and the World (kata dan dunia) A pedagogy of critical literacy must do more than interrogate and demystify the interests that inform dominant knowledge forms; it must also include and bring to the centre of the curriculum those forms of knowledge that constitute the spheres of the everyday and the popular. These are forms of knowledge which constitute student experience For critical literacy to be effective, it must be embedded in the concrete lived conditions of the students themselves101

Dalam memastikan terbentuknya kebudayaan yang dinamis, kepekaan guru pada sejarah juga penting kerana keberadaan hari ini adalah hasil dari ketentuan sejarah yang lalu. Pemahaman pada sejarah dapat memberi ikhtibar akan kealpaan dan kekejaman manusia, sebagaimana jua ia memberi peransang akan kecerdikan dan kecermerlangan manusia. Benarlah apabila Freire menyebut: One of our tasks as progressive educators, today and yesterday, is to use the past that influences the present. The past was not only a time of authoritarianism amd imposed silence, but also a time that generated a culture of resistance as an answer to the violence of power.102

Keberdayaan Dan Harapan

Guru intelektual sebagai intelektual publik tentunya ada keterpanggilan untuk aktif dalam gerakan sosial, terkedepan untuk menguasai ilmu pengetahuan, terdedah dengan kejelasan politik (bukan bermain politik) dan kesediaan serta minat guna menambah pengetahuan mutakhir yang akan meningkatkan kesedaran dan ilmu mereka. Sudahpun kita termaklum bahwa posisi guru amatlah berpengaruh dalam masyarakat

101 Henry A. Giroux dan Peter McLaren, Writing from the Margins:

102

Geographies of Identity, Pedagogy, and Power, Journal of Education, Vol. 174, No.1 (1992), h. 25.

103 Paulo Freire, Letters to Christina.(New York: Routlege, 1996),h. 87.

104

dari beberapa segi, seperti: (a) membentuk minda generasi muda; (b) sebagai model contoh kepada anak-anak sekolah; (c) sebahagian dari inteligentsia masyarakat, makanya boleh mempengaruhi fikiran dan pendapat awam; (d) adanya mereka akses untuk mengajar dan miliki sumber-sumbernyabaik secara formal atau tidak; (e) sebagai pembentuk, pengawas dan penilai idea-idea yang diwacana atau yang dipertahan/ dipromosi dalam masyarakat; (f) sebagai pengaju dan penggubal kurikulum, makanya maklumbalas kepada pihak berwajib amat sangat penting dan (g) kesedaran guru dan keperihatinan tentang ehwal masyarakat akan terjelma dalam pengajarannya, langsung menanamkan sikap kepedulian moral dan etis ke atas masyarakat mereka.

Sayugia juga termaktub dalam makna transformatif itu bukan saja kemampuan berfikir yang maju, kritis dan kreatif, tetapi keteguhan harapan bahawa sesuatu yang lebih baik. Menjadi kritis sama sekali tidak boleh berakhir dengan sinisme dan kepasrahan pada nasib. Kritis harus ditunjangi dengan pemberdayaan, bahawa sesuatu yang lebih baik dapat diusahakan, betapa ia sukar dan rumit. Afirmasi pada harapan amatlah perlu, senada dengan apa yang dianjukan Giroux:

It is essentialto move from questions of social and cultural reproduction to issues of social and cultural production, from the question of how society gets reproduced in the interest of the capital and its institutions to trhe question of how the excluded majorities have and can develop institutions, values, and practices that serve their autonomous interests. Salah satu keperluan ialah sang guru itu dapat mendalami kurikulum yang telah dirancangkan, mampu melihat kekurangan ataupun kelebihannya: Empowerment includes, for example, teachers refusal to blindly follow prepackaged educational materials produced by some experts in their offices to unequivocally demonstrate their authoritarianism Dalam hal ini, kepekaan guru untuk merespon akan sesuatu rancangan kurikulum itu, bergantung besar kepada kemampuan mereka mengaitkan kurikum dengan idea dan nilai yang mendominasi sesuatu masyarakat itu. Jelasnya, warga guru, yang berfungsi sebagai intelektual publik terkedepan untuk memikirkan persoalan apakah dan mengapakah mereka mengajar sesuatu perkara itu.

Viewing teachers as intellectuals also provides a strong theoretical critique of technocratic and instrumental ideologies underlying an educational theory that separates conceptualization, planning and design of curricula from the processes of implementation and execution. It is important to stress that teachers must take active responsibility for raising serious questions about what they teach, how they are to teach, and what the larger goals are for which they are striving. This means that they must take a responsible role in shaping the purposes and conditions of schooling104

Intelektual yang ampuh itu bukan saja bervisi, beremphatis akan keadaan sekelilingnya, terpanggil megubati yang sakit, tetapi juga punyai harapan bahawa masalah dalam masyarakatnya boleh ditangani, sekiranya ada kepedulian, kebijakan dan kesegeraan untuk bertindak. Kepasrahan di

104 Dipetik dari Jesse Goodman, Review on Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning, Journal of Education, Vol. 170, No. 2(1988), h. 145-6.

pihak intelektuallah yang mesti dihindari sama sekali, kepada masyarakat amat sekali memerlukan bukan saja kepimpinan intelektual, tetapi keyakinan dan harapan bahawa sesuatu itu boleh dilakukan, betapapun kecil dan sukar. Sepertimana yang diulas Giroux:

Hope becomes meaningful to the degree that it identifies agencies and processes, offers alternatives to an age of profound pessimism, reclaims an ethic of compassion and justice, and struggles for those institutions in which equality, freedom, and justice flourish as part of the ongoing struggle for a global democracy.105

Intelektual Transformatif Dan

Pencorakan Demokrasi

Falsafah pendidikan yang meletakkan pertalian hubungan guru dan murid pada tingkat hierarki antara sang pengajar yang serba tahu dengan si pelajar yang serba patuh adalah falsafah pendidikan yang terkebelakang, yang hanya memperkukuh sistem yang sedia ada, melainkan menjana kitaran autoritarianisme. Namun dalam mengusahakan pedagogi humanistik kritikal dalam bilik darjah atau dewan kuliah, bukan beerti sang guru melucutkan peranan utama dalam membimbing para pelajar. Mendemokrasikan pembelajaran dengan menggalakkan partisipasi pelajar secara proaktif, bukanlah bererti abdikasi guru daripada tugasnya sebagai pendidik dan mentor kepada pelajar itu tadi. Guru tetap harus memikul tanggunjawab sebagai guru dan bukan berubah menjadi sekadar fasilitator.106 Intervensi atau campurtangan

105 Giroux, When Hope is Subversive, Tikkun, Vol. 19, No.6 (November/Desember 2004), h. 39.

106

107 Horton dan Freire,We Make the Road by Walking: Conversations on

108

guru amat diperlukan, menjalankan tugasnya berdasarkan autoriti107 secara rasional dan demokratis, tetapi bukan pula mengkonsolidasi autoroti tetapi to understand, interpret, and question it: this is another version of speaking truth to power.

Jelasnya, dalam memastikan adanya dialog atau demokrasi dalam bilik darjah, bukan bererti guru itu seharusnya setuju apa saja dengan apa yang dikatakan dan dimahukan oleh para pelajar, atas alasan menghormati pendirian mereka. Malah sekiranya itu berlaku, guru yang mengelakkan intervensi itu ternyata bersekongkol dengan ideologi yang dominan, terlebih lagi apabila para pelajar tadi, tanpa sedar, menyatakan atau berpendirian sama dengan sesetengah ideologi yang dominan itu. Malah, Freire juga menyeru supaya sang guru menjangkau lebih dari berperanan sebagai intelektual yang berterlibat (engagedintellectual) tetapi, manusia yang memikul tugas prophetis, sang pedagog yang saat ia menyeru kepada kesempurnaan, tetap ia berani menyangkal kebathilan.108

Keberanian Moral

Antara mula pertama adalah sang guru itu sendiri ada keberanian moral untuk menolak kenaifan yang terselindung dalam idea-idea muluk yang sering dilaung-laungkan. Kenaifan yang sering wujud adalah berkenaan fungsi persekolahan itu sendiri dapat menjamin kebebasan pemikiran anak-anak untuk mencapai keberadaan yang sempurna setelah tamat persekolahan. Ini bukanlah bererti kita seharusnya berskeptis

Education and Social Change. (Philadelphia, PA: Temple University Press, 1990), h. 378.

107 Rujuk, Jodi OBrien dan Judith A. Howard, To Be or Not To Be: The Paradox of Value-Neutrality and Responsible Authority, Teaching Sociology, Vol.24, No. 3(1996), h. 326-330.

108

109 Dipetik dalam Carlos Alberto Torres, Education, Power, and Personal Biography: Dialogues with Critical Educators. (New York: Routledge, 1988), h. 104.

110

terus akan fungsi sekolah, tetapi keprihatinan bertanggungjawab supaya kita tahu bertahannya ideologi berkepentingan yang akan terus menghalang tumbuhnya pendidikan yang memberati persoalan kemanusiaan dengan lebih tuntas. Juga, tatkala kita teransang untuk melakukan sesuatu demi mencapai perubahan yang progresif, usahlah kita buta pula akan realitas yang benarbenar membatasi tindak kita. Ini harus jelas, kerana pada hemat Freire: We have to know that we are not in school to transform the world. This is not the task for the schools. But we are in school at least to challenge our students to think differently, that is, to go beyond a certain kind of mental bureaucratization, which is terrible. It immobilizes history, creativity, and so on.

Dalam sebuah demokrasi, guru sayugai memainkan peranan yang terulung. Seperti yang pernah diingat Mannheim: They can only achieve this by regarding their work as a serious responsibility to the community. Begitupunlah yang dianjur

Aronowitz dan Giroux bahawa guru itu

must take active responsibility for raising serious questions about what they teach, how they are to teach it, and what the larger goals are for which they are striving. This means that they must take a responsible role in shaping the purpose and conditions of schooling.

Sebagai pendidik yang ada visi untuk merubah sesuatu, ianya bukanlah berdasarkan angan-angan, tetapi pengharapan yang membumi, kerana ianya terdahulu dipersiap dengan usaha yang telah dan akan dilakukan sebaik mungkin. Ertinya ada pengharapan yang membumi, bukan pula keutopiaan yang melekakan atau mengalpakan dari realitas yang sebenar. Seharusnyalah iltizam pada pedagogi kamanusiaan kritis ditunjangi harapan bukan pesimisme and sinisme. Pendidik, sebagai karyawan kebudayaan (teachers as cultural worker) dengan meminjam istilah Friere, terlebih dahulu harus punyai tekad harapan dan berkeyakinan bahawa kita boleh melakukan sesuatu kerana kita adalah tunjang dalam pendidikan untuk generasi hari ini dan yang akan datang. Mendidik itu adalah amanah besar dan melaksanakan ia amat berliku dengan cabaran, perlukan sedalamnya kesabaran dan seluasnya ilmu untuk dibangun dan disampaikan. Namun tatkala kita meletakkan harapan penuh, dengan tekad bersungguh, apabila kita tidak menyaksikan perubahan yang diingini, kita usah lekas hilang keyakinan. Sebaliknya harus kita ingati bahawa penyampaian dan pembelajaran itu sebagai suatu proses, bukan suatu hasil atau produk yang mesti boleh didapatkan dan diukur dalam kadar waktu yang tertentu. Lain perkataan, yang dimaksudkan di sini ialah pentingnya keutopian konkrit, sebagaimana dijelaskan Freire: To be utopian is not to be merely idealistic or impractical but rather to engage in denunciation and annunciation. Sayugia diperkira oleh sang pendidik, sebagai intelektual transformatif, persoalan-persoalan lain, seperti berikut:

(a) Keperluaan pedagogi kritikal dalam upaya membangun dan memperkukuh literasi kritikal dan ini sekaligus memerlukan sang guru itu ada kepercayaan kepada manusia dan kemampuan kuasa kreatif mereka. Tidak dapat tidak ini memerlukan guru itu menjadi partner pada para pelajar dalam berhubungan dengan mereka;

(b)

(c) Kesanggupan bertindak guna merubah bagi kebaikan (turun padang);

(d)

(e) Sadar akan keberlangsungan hidden curriculum, makanya perlu diatasi sebaik mungkin berdasarkan konteks dan keperluan masing-masing;

(f)

(g) Memantau segala unsur anti-intelektualisme yang menjalar, baik dalam persekitaran sekolah, mahupun di luarnya;

(h)

(i) Menangkis segala pemupukkan pembodohan(stupidification) iaitu penyebaran secara halus menerusi indoktrinasi, agar kita hilang atau meminggirkan kemahiran berfikir serta mudah diperdaya, sehingga tiada dapat, secara kritis, memahami persekelilingan kita;

(j)

(k) Kesedaran bahawa mengkritik dan memikir-ulang itu sebagai pertanggungjawaban etis dan intelektual, yang biarpun ruangnya kecil, tetap harus diusahakan dan diterjemahkan secara praktis guna membawa perubahan dari kebelengguan yang menyempit kemanusiaan kita. Lain perkataan, adanya harapan realistas ataupun yang disebut sebagai utopianism dan educated hope.

(l)

Melawan Kepasifan Dan Otoriti Membelenggu

Persoalan yang harus difikirkan ialah: Sama ada kita mahu terus membiarkan kondisi yang sedia ada (kepasifan, buta sosial, apathy) ataupun kita mahu memperkasakan (empower) mereka dan masyarakat. Apabila kita membiarkan sistem pendidikan kita didomestikasi dengan idea dan nilai yang melumpuh (seperti fasisme ras, fundamentalisme agama, konsumerisme rakus dan ketidakacuhan faham pascamoderen) pengsosialan para pelajar akan terus juga menerima idea-idea dominan dalam masyarakat, yang barang tentu berpihak kepada golongan tertentu saja. Metode penabungan itu adalah satu contoh pengdomestikan ini. Pembelajaran sehala yang diterima para pelajar daripada murid adalah halangan kepada pembelajaran yang bersifat dialog dan dialektik. Apabila ini berlangsungan, sang guru mengambil peranan serba tahu dan para pelajar pula harus terus bergantungan kepada guru tadi.

Jelas sekali, tugas guru sayugianya usah dilihat sebagai hanya pendidik kepada anak-anak secara formal atau sebagai watak/peran contoh kepada mereka saja, mahupun sebagai fasilitator untuk menjayakan pembelajaran dalam kelas. Sebaliknya, mereka (guru) diperkasakan dengan tanggungjawab bahawa tugas mereka menjangkau lebih daripada seorang pendidik sekolah. Para guru, teristimewa, guru bahasa, sayugia dilihat sebagai sebahagian daripada intelektual awam dalam masyarakatnya. Hal ini pernah disinggung oleh Henry Giroux, sewaktu membicarakan hal ini dalam konteks guru Bahasa

Inggeris:

Teachers need to view themselves as public intellectuals who combine conception and implementation, thinking and practice. The category of public intellectual is important here for analyzing the particular practices in which teachers engage. First, it provides a referent for critizing those pedagogies that treat knowledge as fixed and deny students the opportunity to interrogate their own histories and voices. Second, the notion of public intellectual accentuates the theoretical and political basis for techers to engage in a critical dialogue among themselves and studentin order to fight for the conditions they need that will allow them to reflect, read, share their their work with others in the interest of not merely improving the life of the mind but engaging and transforming oppressive discursive and institutional boundaries. Their, the category signifies the need for teachers of English to redefine their role as educational leaders in order to create programs which allow them and their students to understake the language of social criticism, to display moral courage, and to connect rather rather than distance themselves from the most pressing problems and opportunities of the times.115

Makanya, selagi pendidikan bahasa diajarkan dalam bentuk yang formalistik/tradisional, maka di situlah letaknya antara rintangan mental dan struktural yang menghalang tumbuhnya pemikiran kreativiti dan kritikal, baik yang berlangsungan dalam atau luar sekolah. Dan di sinilah juga terlihat hambatan besar untuk guru membudaya etos demokrasi, disamping kegagalan mereka untuk bertindak sebagai intelektual awam yang berfungsi. Lain perkataan, pendekatan pendidikan secara tradisional di mana pedagoginya masih bersifat penabungan manakala guru pula bertindak sebagai tokoh serba tahu, makanya praktis-praktis pendidikan regresif ini akan terus bertahan. Ini ada kesan kerana ianya creates inhibitions and suppresses the development of personal autonomy and intelligent judgment. Most individuals are not educated to develop their intellectual powers

115 Giroux, Reading Texts, Literacy, and Textual Authority, Journal of Education, Vol. 172, No. 1(1990), h. 99.

but subjected to process imitation and emotional suggestion which train them for an unthinking acceptance of values and blind obedience. Inilah cabaran yang harus terus kita dedahkan guna dianalisis, dikupas, dikritis dan dicari jalan keluarnya. Ini masalah guru, pendidikan, dan pembelajaran. Siapatah lagi yang paling layak untuk membicarakan hal ini, kalau bukan warga guru itu sendiri. Di sinilah bermula titik kesanggupan untuk merubah - dan itulah juga tugas sang intelektual awam, yang terkedapan menjana perubahan.

Anjuran Renungan Dan Tindakan

Secara ideal setiap masyarakat itu membutuhi warga guru itu berkomited untuk memastikan adanya pencerahan pemikiran, serta meyakini ianya sebagai pertanggungjawaban etis-moralnya terhadap masyarakat mereka. Sebagai guru, tatkala mereka mahu membentuk dan mempengaruhi pemikiran anak didik mahupun khalayak ramai, seharusnya mereka sedar bahawa pengajuan secara ideal dan abstrak hanya akan berkesan sekiranya kita juga memikirkan realitas sosial dan budaya kita. Ertinya bagaimana sesuatu yang dicitakan itu (yang diandaikan baik untuk masyarakat) dapat diterjemahkan secara konkrit dalam kehidupan masyarakat itu. Justeru itu, betapapun seseorang itu menguasai sesuatu ilmu untuk dimanfaatkan dalam masyarakatnya, ianya tidak akan berkesan sekiranya beliau tidak memperdulikan struktur masyarakatnya. Tanpa kepedulian tentang struktur masyarakatnya, bererti kepincangan kesedaran sang intelektual itu tadi untuk mendiagnosa permalasahan dan kegencotan di sekelilingnya. Dan salah satu asas untuk menjanakan pemikiran yang kritisdiagnostik itu, harus bermula dengan kepekaan pada bahasa yang transformatif sifatnya, seperti yang disebut Freire, to exist, humanly, is to name the world, to change it.117 Jelasnya, menangani persoalan kebudayaan dengan kesedaran baru tentu pula harus dipikul oleh intelektual transformatif, segolongan intelektual baru yang tumbuh di kalangan kita, yang menurut Gramsci: The mode of being of the new intellectual can no longer consist in eloquence [] but in active participation in practical life, as constructor, organizer, permanent persuader and not just a simple orator

Akhirul kalam, guru sebagai intelektual transformatif, bererti warga guru yang bukan saja berfungsi dalam pendidikan untuk mengkedepankan budaya berfikir yang kreatif dan kritis, tetapi juga mempunyai komitmen untuk memikul tanggungjwab sebagai intelektual publik. Posisi ini bukanlah suatu yang automatik, jauh lagi suatu privilege tanpa syarat. Juga ia tidak boleh dipaksakan. Namun, sebagai inteligentsia dalam masyarakat, tertanggung di atas bahu warga guru untuk menyahuti cabaran ini. Ianya bukan saja satu tanggungjawab (duty), melainkan ia juga suatu hak (rights). Keterabaian dalam hal ini, adalah membelakangi amanah yang telah diberikan pada kita, kerana suatu masyarakat tanpa kelompok intekelektual yang berfungsi itu akan ketandusan suatu tingkat kesedaran dan penerungan mendalam akan masalah-masalah besar yang ada dalam masyarakat itu.118Sesungguhnya, haruslah ini dielakkan, sebagaimana yang diperingatkan Karl Mannheim bahwa, the intelligentsia abdicates only when it surrenders its self-awarness.119 Pemupukan dan perancangan ke arah pembudayaan intelektualisme yang terkedapan dalam domain publik oleh warga guru kita, tidak dapat tidak, adalah persoalan kebudayaan, intelektual dan moral yang patut diberikan perhatian segera.