Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang diduduki. Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya: Maksud baik saudara untuk siapa
Saudara berdiri di pihak yang mana
Rendra
Pembebasan itu adalah hak setiap manusia, dan sering dilaungkan bahawa manusia mahu dan memerlukan ia. Pembebasan itu bukan sesuatu yang boleh teranugerah ataupun yang boleh diminta-minta. Ia bukan terujar dari seruan-seruan mulu melainkan harus diletakkan dalam konteks sosio-politik, ekonomi dan kebudayaan yang konkrit. Ia adalah ikhtiar manusia untuk mendapatkannya, atau lebih tepat, melalui proses aksi. Pemetaan adalah usaha pencarian yang bertujuan atau bermatlamat, bererti mengarah kepada suatu proses yang berterusan, ke arah pembaikan, atau pemaknaan yang lebih baik dari yang sebelumnya; bukan suatu dapatan atau penerapan yang definitif, seolah dijual dan diterima dengan harga mati.
Memeta bererti merancang suatu perjalanan dan upaya. Itu mengandaikan proses yang berterusan dan anjal. Begitulah pemetaan pedagogi pembebasan.
Ramai bersedia memekik seruan Merdeka, Reformasi, Inqilab dan sepertinya itu tapi mereka sangat takut pada pembebasan. Inilah paling ironis. Kalau hanya menderu berseru untuk pembebasan ia tidak akan ke mana selagi tidak memahami kebalikan pembebasan itu, yakni pembelengguan. Yang terakhir inilah yang merantai ikat, memerangkap dan membudak diri kita. Pembelengguan itu bukan datang semenamena, melainkan ia datang dari tangan dan cara licik sesebuah autoriti atau penguasa, baik dari ranah politik, ekonomi, agama, dan kebudayaan umumnya.
Pengertian pedagogi pembebasan harus diwacana, dan peranan para ilmuan yang berkepedulian serta para aktivis sosial perlu terus menggarapi persoalan ini demi mengkedepankan pencerahan pemikiran. Selagi takrif pembebasan yang diragui malah ditakuti, selagi itulah ada usaha dan perancangan menumbuhkan semangat dan kepedulian demi mengarah kepada pembebasan akan terbantut, mendap dan menipis.
Pembebasan dan kebebasan sering disamaertikan, walaupun kita tahu ada nuansa makna yang membedakan di antaranya. Pembebasan mengarah sebagai proses yang bergerak, seperti maksud pembaharuan, pencerahan dan pemberdayaan. Kebebasan yang sering difahami adalah bersifat pemilihan sendiri pada sesuatu idea, nilai dan pemikiran serta gaya hidup atau kelaziman seharian. Tidak hairanlah, dengan cakrawala pemikiran yang terbatas dan terperosok, pembebasan lekas disamakan dengan kebebasan mutlak, dengan gaya hidup liberal yang tercabut dari agama dan tradisi.
Pedagogi pembebasan bukan turun dari langit, atau bisa dianugerahkan kepada kita, atau alih-alih timbul secara spontan. Ia hanya dapat bergerak sekiranya kita ada persediaan merancang dan bertindak. Sepertimana penegasan yang dibuat oleh Seno Gumira Adijarma,
we still need to struggle for a freedom that is worth something, a freedom in which every person has a stake in the freedom of others. Of course for me, freedom only has meaning through struggle. Because a freedom given as a gift is no longer freedom, but merely a kind of sanctuary. Therefore, it doesnt make sense for people to ask for freedom. Human beings have to struggle to create space of freedom. Actually, writers are always doing something of that sort when they write. The text itself is not important, because the text is only a product. The process is what counts, because it is a human process: how human beings live with the possibilities given them, that is, the possibilities to be free.19
Apakah tujuan utama atau paling mendasar untuk pembebasan itu. Tentunya menjadikan kehidupan kita ini lebih manusiawi, tanpa dipasung oleh praktis dan idea yang tidak manusiawi ataupun kondisi dehumanisasi. Sesungguhnya pembebasan jangan disalahertikan sebagai gaya hidup yang bebas, melakukan segala atas kehendak dan kepuasan diri, tanpa pertimbangan moral etika. Sayangnya, inilah makna yang sering terpakai. Pembebasan disamaertikan dengan hedonisme atau cara kehidupan yang bersifat morally lax.
19 Seno Gumira Adijarma, Fiction, Journalism, History: A Process of Self-Correction, (trans. Michael H. Bodden)Indonesia, 68 (Oct 1999), h. 171. Tukilan ini adalah terjemahan dari teks bahasa Indonesia yang tidak dapat saya kesan.
Apa yang dapat kita kesani ialah pemahaman yang dangkal terhadap makna pembebasan itu sendiri kerana kalau diberikan kebebasan, individu dan masyarakat akan melepaskan ikatan mereka dari etika moral sehingga hancurlah masyarakat tadi. Pemikiran seperti ini lebih merisaukan perempuan di sfera publik kerana takut ini akan membawa kerosakan besar kepada masyarakat, sedangkan mereka tiada bernafsu mempermasalahkan salah guna kuasa, korupsi dan pembantaian terhadap hak warganegara.
Inilah ketempangan pemikiran yang apabila mudah terkalut dengan cara perempuan yang berpakaian tidak senonoh tetapi senyap membisu tidak menyuarakan gejala ketidakmanusiaan yang lebih ketara dan terparah dalam masyarakat. Di sinilah letaknya makna pembebasan itu telah dibatasi, sedangkan respons yang seperti itu adalah moral panik, yang akhirnya asyik menuding jari menyalahkan mereka yang tersasar itu dan ini, tanpa rasa kepedulian dan tanggungjawab memahami, jauh lagi mencari jalan keluar kepada mereka yang dikatakan tersasar dan terpesong itu.
Apa yang dapat sering kita diketemukan ialah adanya fahaman bahawa agama itu sendiri menjadi jalan penawar dari keracunan dan ketersasaran bagi mereka yang telah mendakapi pembebasan. Ternyata fahaman seperti ini hanya mencerminkan keterbatasan dan penyempitan dalam memahami pesanpesan universal yang dibawa dalam Islam. Agama Islam itu sendiri adalah agama yang dari awal risalahnya menyeru dan menegakkan pembebasan, yakni pembebasan dari kekufuran, dari kezaliman dan penganiyaan, bebas dari pemberhalaan dan penghambaan, dan bebas dari mementingkan kepentingan sendiri sehingga sanggup melakukan kemusyrikan atau hipokrasi.
Seorang penulis asal Kelantan, Abdul Kadir Adabi, menegaskan makna kemerdekaan yang sememangnya dituntut dalam Islam. Dalam majalah Pengasuh pada tahun 1930, beliau mencatatkan:
Kemerdekaan itulah mahkota yang dijunjung oleh orang-orang Islam pada masa dahulu. Merdeka mereka itu pada kata-kata, merdeka mereka itu pada sebarang pergerakan, merdeka mereka itu pada akal fikiran, merdeka mereka itu pada perhimpunan-perhimpunan dan merdeka mereka itu bertandang desa dan mengenalkan oleh orang-orang tua-tua kepada budak-budaknya. Bahawa merdeka itu suatu kejadian semula jadi dalam Islam.
Jelasnya, beliau menyeru jangan sampai menghinakan kemerdekaan, sehingga tiada bersanggupan menggunakan akal fikiran menimbangkan baik buruk sehingga dapat menegakkan keadilan serta melawan pula kezaliman.
Pembebasan Dan Keadilan
Apabila menyebut persoalan pembebasan dan kaitannya dengan keadilan. Dengan terdirinya keadilan sosial dalam masyarakat, pembebasan dapat dijamin. Begitulah juga apabila pembebasan menjadi nilai diutamakan, maka keadilan sosial juga dapat berdiri teguh. Jelasnya, soal pembebasan tidak boleh dipisahkan dari rangka struktur negara, ataupun menjadi salah satu yang diberatkan oleh negara dan kepimpinannya. Dalam hal ini, penjelasan oleh Soedjatmoko sebaiknya diperturunkan: To preserve and nurture freedom in the countries of Southeast Asia, it is absolutely essential that the concept of freedom be accepted and treated as a prime value and as a national goal co-equal with development, national unity and security, and with social justice. The triangular balance between growth, social justice and security will work out quite differently depending on whether freedom is accorded its place as co-equal value imbuing the general condition of society each step of the way, or not. If not, freedom may soon become the victim of the desire for national security, improved material conditions and social justice, legitimate though each of these other values by themselves are.
Pembebasan tidak akan wujud selagi elit yang memerintah itu tidak ada kepercayaan yang utuh ke atas masyarakat yang ia pimpin. Kalau elit sendiri takut pada pembebasan, maka sempitlah ruang bagi pembebasan untuk tumbuh. Dijelaskan oleh Soedjatmoko:
The safeguarding of freedom will also require a political system capable of concialiting the conflicting requirements of freedom, responsibility and national discipline; capable also of preserving the pluralistic character of their societies, and of accommodating countervailing forces, processes and structures that make possible the articulation, expression and accommodation of conflicting interests and of shifting relationships, thus providing legitimate avenues for relatively orderly pricesses of change. But in the final analysis, freedom may well be a function of the faith and trust of governing elites in the qualities of their own people.
Wajar juga kita bertanyakan sejauhmana kita sebagai awam sendiri menanggapi pembebasan sebagai suatu keperluan, hak, mahupun tanggungjawab yang harus terpikul dan dikedepankan.
Segi-Segi Pembebasan
Umumnya pembebasan yang dimaksudkan dalam bab ini adalah ikhtiar dan tekad untuk melepaskan diri daripada pembelengguan idea dan praktis, yang akan menyekat pengembangan dan pengentalan peribadi manusiawi dalam diri seseorang. Ada beberapa segi pembebasan yang harus kita fahami guna memberi makna dan cakupan pembebasan itu sendiri.
Pertama, pembebasan itu adalah melepaskan diri dari keserakahan dan keangkuhan diri yang bergelumang dengan etika authoritarian, sehingga melahirkan sikap yang membudak (slavish). Sikap seperti ini yang bukan sahaja mahu membatasi pembebasan orang lain tetapi juga dirinya lari dari pembebasan yang dipertanggungjawabkan ke atas dirinya.
Kedua ialah pembebasan dari ideologi atau fahaman sempit yang mendiktat cara kita berfikir dan bertindak. Antaranya ideologi fasis, nasionalisme yang cauvinis, perkauman atas nama menjaga kepentingan bangsa, serta menggunakan kekerasan atas nama agama. Ideologi sempit bukan saja berujung dengan penganiyaan ke atas mereka yang lemah dan terpinggir, dengan tidak berlaku adil terhadap golongan tersebut, sedangkan mereka yang melakukan penganiyaan itu sendiri terbelenggu oleh authoritarianisme yang meluputkan kemanusiaan dalam diri mereka.
Ketiga ialah pembebasan dari cengkaman pasar serta sindrom pengkopratan yang semakin berleluasa ditegakkan hari ini. Cengkaman menjadikan kita pengguna dan pembeli yang terus menerus mengkonsumsi produk, yang sering kali bukannya keperluan asas, malah kemewahan yang membazirkan. Pasar menjadikan kita terus menjadi pembeli yang membazir, sehingga sumber alam yang digunakan akan meleset sehingga kesan jangka panjang yang mengerikan. Budaya pengkopratan yang menjalarkan masuk dalam pelbagai ranah kehidupan, termasuk pendidikan, melihat segala upaya manusia dari sudut kos dan pengeluaran, di mana setiap usaha itu diukur seperti suatu pelaburan sehingga dikira untung rugi.
Keempat ialah pembebasan dari eksklusivisme dan obskurantisme agama atau tradisi kepercayaan. Agama yang dipegang hanya sebagai ikutan, khasnya dengan beberapa formulasi kepercayaan dan tafsiran yang bercorak konservatif dan terkebelakang, sehingga membawa kesan kepada kehidupan hari ini. Pembelengguan agama ini membuat pengikutnya menjadi taksub bahwa mereka sahaja empunya kebenaran dan hak, sehingga yang lain bisa saja diperlekeh atau usah diperkirakan.
Kelima ialah pembebasan dari nihilisme, ketidakacuhan dan ketidakberharapan. Nihilisme bukan saja kerancuan idea dan pemikiran tetapi juga ketidakmampuan untuk berkasih sayang terhadap diri sendiri dan lingkungannya sehingga ada rasa ketidakberdayaan untuk bangun merubah kerana semua itu dirasakan palsu atau sia-sia.
Keenam ialah pembebasan dari diktat pasar dan konsumerisme yang membelenggu pemikiran dan gaya hidup kita seringkali, tanpa sedar. Ekonomi neo-liberal dengan pengoptimuman untung, dengan kos produksi terendah, telah mencorakkan pemikiran kita bahwa itulah model ekonomi yang paling efisien. Tanpa kita sedari keasyikan dengan efisien dan produktiviti dan sepertinya telah membawa kepada penumpukan untung luar biasa sedangkan para pekerja dan buruh makin terhimpit dengan upah yang rendah dan kadar inflasi yang semakin meningkat. Maka tidak hairanlah jurang pendapatan semakin melebar, yang miskin dan sederhana semakin terhimpit, yang kaya bermodal bertambah asetnya. Cara berfikir inilah yang terus membelenggu kita dengan tiada atau kurang penyanggahan terhadap model ekonomi neo-liberal ini. Termasuk pemikiran yang memerangkap ini adalah ideologi yang mengatakan bahawa kapitalismelah sistem yang satusatunya teruji dan tersempurna untuk dunia.
Ketujuh ialah pembebasan dari acuan pemikiran lambak yang menjunamkan pemikiran, cita, dan selara kita sehingga yang mediocre, yang tidak ada kepiawaian dan kemampuan telah merebak mendabik diri sebagai jaguh atau pakar dalam hal itu dan ini.
Pemikiran lambak ini tidak ada visi untuk mengusahakan yang lebih baik dan bermutu, kecuali idea dan kerjanya yang tidak ada standard itu, dipaksakan ke atas orang lain sebagai standard yang harus dicontohi. Terparah dalam masyarakat apabila elit dan inteligensianya memiliki pemikiran dan selera lambak ini.
Jelasnya, segi-segi yang disebutkan secara umum di atas hanya sebagai batu tanda untuk mempertegaskan bahwa idea pembebasan itu luas, dan saling kait mengait. Pembebasan dalam satu ranah tidak akan dapat bermakna sekiranya ranah lain masih dalam pembelengguan. Namun apapun pembebasan yang bisa dikecapi, yang paling asas ialah pembebasan sesuatu bangsa atau negara itu dari penjajahan. Masyarakat dan bangsa yang dijajah adalah umat manusia yang paling tertekan dan terzalim kerana selama mereka dibawah kuasa asing, mereka tidak akan dapat menghirup dan menyusun kehidupan yang normal, bermartabat dan berkemampuan untuk menentukan nasib dan arah kehidupan mereka sendiri.
Takrif Pedagogi
Setelah jelas dengan tujuan pembebasan itu sendiri, sebaiknya kita merungkai beberapa konsep asas untuk memberi makna kepada pedagogi. Pertamanya, kita maklum pengertian pedagogi itu sendiri. Huraian Henry Giroux dan Peter McLaren yang tuntas, sebaiknya kita perhatikan, sedang ia mengelakkan pentakrifan pedagogi dalam pengertian sempit dan teknis semata:
Pedagogy refers to a deliberate attempt to influence how and what knowledge and identities are produced within and among particular sets of social relations. It can be understood as a practice through which people are incited to acquire moral character. When one practices pedagogy, one acts with the intent of creating experiences that will organize and disorganize a variety of understandings of our natural and social world in particular ways.pedagogy is a concept which draws attention to the processes through which knowledge is produced .As a complex and extensive term, pedagogys concern includes the integration in practice of particular curriculum content and design, classroom strategies and techniques, a time and space for the practice of those strategies and techniques, and evaluation purposes and methods.But the discourse of pedagogy centres something more. It stresses that the realities of what happens in classrooms organize a view of how a teachers work within an institutional context specifies a particular version of what knowledge is of most worth, in what direction we should desire, what it means to know something, and how we might construct representations of ourselves, others, and our physical and social environment. Ertinya, adalah sempit dan merugikan sekali kiranya kita memahami pedagogi sebagai teknik dalam pembelajaran dan pengajaran sahaja. Malah pedagogi usah dibatasi hanya dalam situasi bilik darjah sahaja. Pendidikan boleh berlangsung dalam pelbagai situasi dan di situlah letaknya kepentingan pedagogi yang berkesan. Dalam hal ini menurut Roger Simon, perlu kita
grasp, for example, how workplaces, families, community and institutional health provision, fil and television, the arts, groups organized for spiritual expression and worship, organized sport, the law and the provision of legal services, the prison system, voluntary social service organizations, and community based literacy programs all designate sets of organized practices within which learning is one central feature of outcome.
Pedagogi yang kritis itu dengan sendiri tidak boleh ditakrif atau dilakar secara tetap dan definitif, melainkan ia harus dikontekstualkan, allowing it to respond specifically to the conditions, formations, and problems that arise in various sites in which education take place. Sememangnyapun pedagogi bukan saja berlaku di sekolah tetapi juga di setiap domain kebudayaan kita. Media elektronik tentunya adalah tempat berlangsungnya pedagogi yang amat ketara, sehingga disebut Peter McLaren sebagai perpetual pedagogy. Ternyata domain inilah juga yang harus mendapat perhatian kita dengan segera.
Literasi Kritikal Bukan Literasi Instrumental
Pedagogi pembebasan sebagai suatu gagasan, tindakan dan harapan harus dapat memanfaatkan pedagogi hadap-
masalah adalah asas bagi pelestarian critical literacy.Literasi yang dimaksudkan ini bukan literasi yang berbentuk formal/ fungsional iaitu yang sering kali kita fahamkan dengan kebolehan menulis, membaca dan mendengar/faham ataupun celik huruf. Yang terakhir ini adalah literasi intrumentalis, yang menurut Donaldo Macedo telah menghasilkan functional literates yang hanya pakar dalam satu bidangnya tertentu tetapi malangnya buta pada hal-hal yang lain.
Idea ini amat berleluasa sekali, sehinggakan dalam takrif UNESCO pun literasi masih ditanggapi dalam tingkat keperluan fungsional masyarakat apabila disebutkan bahawa: literacy programs should preferably be linked with economic priorities. They must impart not only reading and writing, but also professional and technical knowledge, thereby leading to a fuller participation of adults in economic life.
Sebaliknya critical literacy adalah literasi emansipatoris di mana keprihatian dan kepedulian tentang keadaan sekeliling, kepekaan kepada realitas dan keterpanggilan untuk merespon akannya. Bagi Freire, literasi adalah salah satu bentuk dialog yang otentik, kerana pada dasarnya ianya bertitik-tolak daripada kesedaran. Pendek kata, ianya membawa pengertian orientasi kritikal kepada realiti. Literasi kritikal ditakrifkan oleh Ira Shor sebagai
analytic habits of thinking, reading, writing, speaking, or discussing which go beneath surface impressions, traditional myths, mere opinions, and routine clichs; understanding the social contexts and consequences of any subject matter; discovering the deep meaning of any event, text, technique, proves, object, statement, image, or situation; applying that meaning to your own context.
Dalam memahami masyarakat, pembacaan kritis Freire wajar dimanfaatkan. Menurut Freire, ketidaksempatan massa untuk memiliki kesedaran kritikal ini, bukan kerana tidak memiliki kereseptifan intelektual, tetapi mereka tidak berkesempatan kerana tidak dibenarkan untuk mengetahui akibat daripada struktur yang sedia ada. Lantas, yang diperlukan bukanlah laungan propaganda, tetapi
critical effort through which men and women take themselves in hand and become agents of curiosity, become investigators, become subjects in an ongoing process of quest for the revelation of the why of things and facts.
Kesedaran kritikal (critical consciousness) bukanlah disebarkan melalui propaganda atau indoktrinasi, yang tetap juga mengambil kaedah tabungan. Tetapi ianya adalah asuhan dan ajakan untuk kita berfikir akan persekitaran kita, menghuraikan mengapakah sesuatu itu wujud dan bertahan, dari manakah asalnya serta apakah yang boleh dilakukan untuk merubah sesuatu yang pincang itu kepada suatu yang pantas untuk kebaikan semua.
Membudayakan Pedagogi Hadap-Masalah
Secara lebih konkrit, pedagogi hadap-masalah perlu dipraktis dalam berbagai bentuk pembelajaran, sepertimana berikut:
It will be critical literacy across the curriculum, asking all courses to develop reading, writing, thinking, speaking, and listening habits, to provoke conceptual inquiry into self and society and into the very discipline under studyCritical literacy invites teachers and students to problematize all subject of study, that is, to understand existing knowledge as a historical product deeply invested with the values of those who developed such knowledge.
Ditegaskan bahawa pendekatan pendidikan hadapmasalah (problem-posing) adalah lebih sesuai dan diperlukan daripada pendekatan pelajaran (atau lebih tepat lagi instruksi) yang bersifat jawab-soalan, (problem-solving). Keupayaan mengaju soalan-soalan bijak dan sering memikirulang apa yang sedia ada, adalah lebih baik dari setakat tekun telaah yang mahu menghabiskan soalan-soalan dengan jawapan. Pendekatan literasi kritikal ini terarah untuk mengajar kita cara berfikir dengan betul yang berdasarkan mencari sebab-musabab wujudnya (atau tidaknya) sesuatu perkara/benda/fenomena di sekeliling kita. Ia jangan sekali disamakan dengan literasi yang bersifat teknis, formal atau instrumental.
Instead of formulating literacy in terms of mastery of techniques, we must broaden its meaning to include the ability to read critically, both within and outside ones experiences, and with conceptual power. This means that literacy would enable people to decode critically their personal and social worlds, thereby further their ability to challenge the myths and beliefs that structure their perceptions and experiences.33
Pedagogi Pembebasan Harus Meliputi
Pedagogi Bertanya
Jalan meraih pembebasan bukanlah dengan keberanian melulu untuk menggempur melawan. Keberanian tentu menjadi asas bagi mereka yang mahu melepaskan diri dari belenggu, perangkap atau tawanan. Sebelum keberanian ini bisa terjelma dalam aksi, yang sama pentingnya ialah timbulnya kesedaran kritis untuk berani bertanya. Menurut Freire, sebenarnya bertanya itu lebih sukar dari kesediaan memberi jawapan. Pedagogi bertanya adalah sebahagian dari pendekatan berfikir dengan pola pandangan berhadap-masalah. Dalam suasana yang demokratis dan bebas, lebih mudah untuk orang awam dan para pelajar yang ada kepedulian untuk bertanya dengan menumbuhkan minat keberanian dan kesedaran untuk bertanya.
Dalam bertanya itu, terjelma bahawa kita tidak menyimpulkan ilmu yang kita ketahui dan fahami sebagai final atau tetap, tanpa perlu dan boleh difikirulang. Juga tatkala bertanya itu, ianya menumbuhkan bukan saja sifat ingin
33 Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning. (Massachusetts: Bergin& Garvey, 1988), h. 84.
tahu tetapi rasa rendah diri dalam proses meneroka ilmu. Sayangnya, dalam konteks pendidikan hari ini yang dicirikan oleh persaingan untuk mendapat markah tertinggi, para pelajar terkondisi untuk ghairah mendapatkan jawapan dengan segera. Budaya bertanya tidak dibangunkan, dan kalaupun ada, ialah bertanyakan bagaimana mendapat jawapan dengan cepat dan teratur. Akhirnya kita menciptakan pelajar yang bijak peperiksaan, tetapi tandus pula kebijaksanaannya.
Sekiranya kita ada sikap sudah dan selesa kerana ada jawapan, dan tidak mahu lagi, atau takut pula bertanya, maka itulah sikap yang gagal menimbulkan kepedulian memikirkan masalah semasa dan kondisi di sekeliling. Takut bertanya, menyambung dengan tidak peduli bertanya, adalah kombinasi yang melumpuhkan sehingga budaya tidak bertanya ini menjalar menjadi kecenderungan tidak mahu tahu atau kerelaan menjadi jahil. Freire beranggapan:
An education of answers does not at all help the curiosity that is indispensable in the cognitive process. On the contrary, this form of education emphasizes the mechanical memorization of contents. Only an education of question can trigger, motivate, and reinforce curiosity.
Pedagogi Yang Anti-Metode
Perlu dipertegas tidak ada satu formula tetap dan tunggal tentang pedagogi pembebasan. Kalau mahu mencari dan mendapatkan metode khas untuk mencapai pembebasan itu adalah jangkaan meleset ataupun naif. Pembebasan itu walaupun ideal yang universal, tetapi bukan sesuatu yang boleh diterjemah ke suatu konteks dari acuan stardard tanpa memperkira keperluan, kondisi setempat dan semasa. Keanjalan pedagogi yang tidak mudah terpenjara oleh metode, iaitu pedagogi yang bersifat kontekstual dan kebolehberubahan berdasarkan keperluan setempat. Aktiviti kritikal seharusnya proses yang berterusan dan belum kunjung berkesudahan karena
as the social world changes, new problems arise, requiring further reflection and action. One does not find the solution, then move on to the next problem: rather, the next problem is being created as the present one is being addressed. Often the original problem persists, though in a metamorphosed form.
Sememangnyalah pedagogi kritikal itu harus bersifat kebolehberubahan kerana ilmu yang cuba kita cari dan fahami itu terus bersifat incomplete. Ilmu, menurut Freire adalah upaya manusia, yang berterusan dalam proses menjadi (becoming). Jelas beliau: Knowledge always is becoming. That is, if the act of knowing has historicity, then todays knowledge about something is not necessarily the same tomorrow. Knowledge is changed to the extent that reality also moves and changes.
Pedagogi kritikal yang seutuhnya seharusnya tidak terikat dengan rangka metode yang rigid, sepertimana yang terdapat dalam pengaplikasian teori dalam dunia kesarjanaan hari ini. Mengikuti rangka metode sesuatu teori atau pendekatan adalah kekhadaman intelektual yang menjurus ke arah kultus teori. Sebab itulah Freire, tegas menyuarakan dalam upayanya mewacanakan pedagogi yang tertindas, beliau keluar dari beraksyikan mengikuti teori, sehinggakan metode beliau dinamai anti-metode. Donaldo Macedo, yang menyaring idea anti-metode yang dibawa Freire, memperjelas:
anti-method pedagogy that refuses the rigidity of models and methodological paradigms . The antimethod pedagogy forces us to view dialogue as a form of social praxis so that the sharing of experiences is informed by reflection and political actionThe anti-method pedagogy also frees us from the beaten path of certainties and specialisms. It rejects the mechanization of intellectualism.
Sememangnya anti-metode yang terkandung dalam pedagogi kritis ini adalah suatu mekanisme idea yang dapat melumpuhkan kecenderungan kepada dogmatisme kaedah ataupun kekhadaman kepada teori/metode sehingga tidak dapat memikirkan kesesuaian masa dan tempat dalam menjayakan sesuatu pedagogi itu. Dan seharusnyalah pedagogi itu dianggap sebagai percubaan eksperimen yang bersungguh, namun jelas mengingati bahwa experiments cannot be transplanted; they must be reinvented.39
Dalam memeta pedagogi pembebasan inilah antara batu tanda yang harus kita perhatikan dengan cermat. Jangan sampai kita hanya pandai berbicara metode dari tindaklaku yang datang dari luar sehingga berandaian bahawa metode yang sama kalau diaplikasi di tempat kita akan menjadi dan berhasil. Inilah cara berfikir yang sering bertahan dan diajarkan sebagai pendekatan yang sah. Walhal kita tahu setiap satu tempat itu, dilatari oleh kondisi dan faktor pengubah yang berlainan, sehingga mustahil kita pindahkan satu metode yang telah berhasil di suatu tempat ke tempat yang lain. Malah keterpesonaan kita dari luar itu disebabkan suatu metode.
Akhirul kalam, pedagogi pembebasan itu bukan suatu pendekatan atau metode standard yang bisa dipakai dan diterjemah dengan semudah. Ia tidak ada cetak biru, tetapi tetap juga perlu ada perancangan yang mengarah kepada pembebasan. Di sinilah letaknya peripenting suatu pedagogi yang dimanfaatkan ke arah ikhtiar itu. Ertinya, titik-tolak pedagogi itu adalah keperluan kemanusiaan dengan mengambil kira pelbagai perspektif untuk menyuguhkan keberkesanan mendidik, selain sedar bahawa pendekatan pendidikan itu harus merespon kepada konteks sesuatu kebudayaan, tetapi juga mengambil kira kebutuhan para pelajar sehingga dapat melihat mereka sebagai partisipan aktif dalam proses pendidikan mereka itu sendiri.40
Pedagogi pembebasan mengandaikan kesedian untuk engage in denunciation and annunciation.41 Ia adalah pedagogi kritikal dalam upaya membangun dan memperkukuh literasi kritikal dan ini sekaligus memerlukan kita semua untuk ada kepercayaan kepada manusia dan kemampuan kuasa kreatif
40 Lilia I. Bartolome, Beyond the Method Fetish: Toward a Humanizing Pedagogy, Harvard Educational Review, Vol. 64, No. 2 (1994), h. 173-194.
41
42 Freire, Politics of Education, h. 57.
43
mereka. Pedagogi ini adalah kesanggupan bertindak guna merubah bagi kebaikan (turun padang) dengan tekad menangkis segala pemupukan pembodohan (stupidification) iaitu penyebaran secara halus menerusi indoktrinasi, agar kita hilang atau meminggirkan kemahiran berfikir serta mudah diperdaya, sehingga tiada dapat, secara kritis, memahami persekitaran kita.
Kesedaran bahawa mengkritik dan memikir-ulang itu sebagai pertanggungjawaban etika dan intelektual, yang biarpun ruangnya kecil, tetap harus diusahakan dan diterjemahkan secara praktis guna membawa perubahan dari kebelengguan yang menyempit kemanusiaan kita. Lain perkataan, adanya harapan realitas ataupun yang disebut sebagai utopianism dan educated hope. Jelasnya pedagogi pembebasan bukan sekadar melawan apa jua bentuk pembelengguan dan penindasan tetapi juga ada metode liberatif yang bisa merungkai dan mengenali sosok dan bentuk ideologi yang dominan. Perlu jelas bahawa ideologi dominan itu tidak statis melainkan ia terus mereproduksi dalam bentuk dan tempat yang berlainan. Golongan yang buta akan realiti semasa, termasuk ideologi yang mendominan, betapa ia cergas dalam aktivisme sosial ataupun menghidupi dunia ilmiah, adalah maha kejahilan yang sukar dicarikan penawarnya.