DARI LANGIT - 2
SaNGat PENtING bagi kita membahas freedom dalam konteks In donesia mutakhir. arti dasar kata freedom adalah bebas. Dalam kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat; diasosiasikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks be bas, dan segala hal yang buruk. Ringkasnya: diidentikkan dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran.

Padahal free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpi kir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Ka rena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individuindividu yang ada dalam suatu masyarakat sesung guhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alam iah, serta mampu memilih bagi diri mereka sendiri.

Kadang memang ada kekhawatiran bahwa kalau orang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai warganegara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. tindakan memilih terkadang memang bisa keliru. tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita,katafilsufabadke19itu,haruspercayabahwamanusiamampu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlangsung pembelajaran.

Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan pilihan terusmenerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu tersebutdan ini bisa kita perluas menjadi masyarakattidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah: kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individuindividu bebas me milih, dan dalam proses memilih terusmenerus dalam hidup nya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih dewasa.

Itu tidak perlu disalahpahami sebagai hal yang yang akan menjurus ke individualisme, sebagai sesuatu yang dilawankan dengan budaya timur, termasuk kita di Indonesia, yang biasanya mengecamnya karena individualisme dianggap akan akan menciptakan manusia dan masyarakat yang individualistis, yang tidak solider terhadap penderitaan sesama, dan sebagainya. Kita harus akui fakta keras bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki; untuk melihat kepentingan yang ada di sekitarnya lewat kepentingannya sendiri. Dan itu kenyataan alamiah. Manusia di mana pun selalu begitu. tidak ada masyarakat yang mengerti di luar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualisme bukanlah sebuah paham. Ia adalah sebuah kenyataan.

Saya sendiri tidak pernah mengkhawatirkannya. yang saya cemaskan justru hal sebaliknya. Orang mengatasnamakan masyarakat, mengatasnamakan agama, untuk memaksakan kehendaknya pada orang lain. Saya baru baca koran bahwa di Pa dang, misalnya, siswisiswiyang beragama Islam maupun nonIslamdipaksa untuk memakai jilbab. Ini bentuk pemaksaan kehendak yang paling kasar. Kalau hal itu diwajibkan di kalangan internal kaum muslimat, kita masih bisa berdebat.

tapi kalau ketentuan itu juga dipaksakan terhadap warga nonIslam, ini betulbetul bentuk kolektivisme yang paling kasar. Itu merupakan otoritarianisme yang tidak menghargai individu, tidak menghargai kebebasan pilihan.

Mari kita lihat bagaimana kenyataan tentang individualisme itu berlangsung di amerika Serikat, yang selama ini dianggap memunculkan sikap individualistik, yang tidak memerhatikan kepentingan dan derita manusia lainnya. Saya hidup di amerika selama delapan tahun, dan saya segera melihat betapa tidak be narnya anggapan itu. Kehidupan berkeluarga, kehidupan berkelompok, selalu ada dalam masyarakat amerika. Jadi, antara individu dan lingkungannya tidak mungkin dipisahkan. yang menghubungkan mereka adalah paham atau pandangan tentang bagaimana sang individu dan lingkungannya berhubungan.

Di satu pihak, ada kecenderungan pada masyarakat yang lebih tradisional, yaitu ingin memaksakan apa yang disebut sebagai kepentingan kelompok atau kepentingan kolektif kepada individu. Kalau kita lihat dalam masyarakat yang nondemokratis, kepentingan kelompok hampir selalu berarti ke pentingan segelintir orang yang bisa memaksakan kekuasaa nnya, baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, politik, huk um, dan sebagainya. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Kalau kita mengatakan ada sebuah kepentingan bersama yang harus diutamakan atau diperjuangkan, bagaimana kita sampai pada perumusan kepentingan bersama itu, dan bagaimana kita mengharuskan individu untuk takluk

Di amerika atau masyarakat Barat umumnya, ada konstitusi yang memberikan garis batas yang jelas, di mana negara sebagai perwakilan kelompok bersama tidak boleh melampuai batasbatas tertentu. hakhak kebebasan berpendapat adalah hak individual yang tidak boleh diambil oleh negara dalam kondisi apapun, kecuali kondisi ekstrem.

Di negerinegeri itu, apa yang disebut kemaslahatan umum dirumuskan melalui serangkaian prosedur tertentu. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa menyatakan bahwa sayalah yang mewakili kepentingan umum. Itu harus diolah dalam suatu prosedur yang disebut prosedur demokratis, di mana ada parlemen, eksekutif, ada mahkamah agung yang memeriksa apakah prosedurnya sudah dilewati. Jadi, ada hukum, ada konstitusi yang memberi batasan apa yang disebut kepentingan ber sama. Makanya dalam Konstitusi amerika Serikat, misalnya, yang pertama kali dijelaskan adalah bahwa ada hakhak individu yang tidak bisa diambil oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan negara. Inilah yang disebut inalienable rights. hakhak yang tak dapat dilucuti itu mencakup hak untuk hidup, hak untuk mencari penghidupan, hak untuk bahagia; kemudian ada tambahan melalui amandemen: hak individu untuk berpendapat, untuk beragama, memilih agama masingmasing. Itulah hak yang paling dasar.

Secara implisit, konstitusi kita yang paling baru, setelah amandemen, pun sudah menjamin semua hak itu, meski ada beberapa masalah. tetapi masalah kita yang lebih besar sekarang adalah konteks sosial dan kulturalnya, sedangkan aturanaturan legalnya kita sudah punya.

***

Kritik yang lazim kita dengar bahwa semua konsep itu individualisme, liberalisme, freedomadalah berasal dari Barat, berakar dan berkembang di lahan Barat, dan dengan sendirinya tidak cocok bagi lahan timur (Indonesia) yang penuh solidaritas, kekeluargaan, dan sebagainya, perlu diberi perspektif yang tepat. Kenyataannya, di Barat pun, sebelum lahirnya modernitas, situasinya sama dengan yang kita alami; kultur masayarakat mereka cenderung kolektivistik, bersifat gotongroyong, dan sebagainya. tapi di amerika dan di Eropa terjadi perkembangan, dan evolusi. Berkembangnya modernitas membawa pula perkembangan paham yang menganggap individu sebagai otonom, yang mampu memilih bagi dirinya.

Ini pun bahkan terjadi dalam rumahtangga kita. Semakin anakanak saya tumbuh, semakin tampak karakter bahwa anakanak ini membutuhkan ruang bagi dirinya sendiriyang paling gampang adalah: mereka mulai minta kamar sendiri. De ngan kata lain, jika kemampuan ekonomi keluarga mendukung, secara alamiah anakanak yang berangkat remaja mulai menuntut privasi. Ini berlangsung secara alamiah, tanpa diatur oleh siapapun. Begitu seorang anak melihat kemampuankemampuan alamiahnya mulai berkembang, dia sedikitbanyak meminta ruang bagi dirinya sendiri. unit analisis dengan berbasis pada keluarga seperti yang saya ilustrasikan itu juga penting, sebab individualisme tidak berarti mempersetankan keluarga dan kelompokkelompok yang lebih besar dari keluarga.

Individualisme adalah pengakuan bahwa individu adalah subyek yang mampu merasa dan mampu memilih bagi dirinya sendiri. Dia harus dibiarkan dalam proses belajar. Kalau kita tidak mengakui ini, kita terjebak adalam suatu situasi seperti yang lazim terjadi dalam masyarakat tradisionalsekadar menyebut contoh yang paling gampang dan jelas. Dalam masyarakat semacam itu individu selalu diberitahu bahwa suatu kepentingan tertentu adalah kepentingan adat atau kepentingan suku. Tapi siapa yang mendefinisikan kepentingan adat ataukepentingan suku itu

Kalau ada seorang anggota masyarakat Bugis klasik sudah mau meninggalkan sarung, apa alasan kita untuk berkata bahwa dia tidak boleh lagi memakai jins karena hal itu bertentangan dengan tradisi masyarakat Bugis; bahwa adat harus dijaga Kalau anak tidak lagi ingin kawin secara adat, tapi mau kawin secara modern supaya hakhaknya terjaga, baik dengan surat, dengan kontrak dan sebagainya, apa alasan terbaik untuk mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa bertindak begitu, sebab adat kita tidak demikian Ini sebenarnya dilema antarpilihan. Kita bisa melihatnya secara gamblang pada kisah Siti Nurbaya dalam sastra kita. Siapa yang memilih buat sang individu: dirinya sendiri (Siti Nurbaya) atau otoritas di luar dirinyaayah, ibu, paman

Di belakang skema itu ada sistem adat besar, ada prasangka, kecurigaan terhadap orang lain; barangkali juga ada paham yang keliru; ada paham yang pada suatu waktu bisa benar tapi dalam perubahan zaman tidak lagi benar. Pertanyaan pokoknya: boleh atau tidak Siti Nurbaya memilih buat dirinya sendiri, dalam hal ini memilih suami. akhirnya soal pilihan ini meluas, bukan hanya untuk memilih suami, tapi juga untuk memilih sekolah, untuk memilih cara hidupuntuk memilih macammacam hal. harus ada batasbatas bagi kita untuk berkata pa da diri sendiri bahwa sesuatu itu merupakan hak individu un tuk memilih; bahwa dia harus melakukan itu buat dirinya sendiri, agar dia tumbuh menjadi manusia yang semakin dew asa.

Maka kritik yang menampik semua itu dengan alasan bahwa ia berasal dari Barat, tidaklah sah. Zaman sekarang ini tidak lagi mengizinkan kita untuk memilahmilah Barat dan timur. Kalau kita masih memakai argumen ini, berarti kita mundur ke perdebatan sebelum 1960an dan 1970an sampai jauh ke belakang. Bahwa kita masih bisa mempersoalkan konsepkebeb asansecarafilosofis,yatentusaja.Setiapkonsepsipasti punya kelemahan. tapi saya tidak melihat alternatif yang bisa kita terapkan sebagai dasar sistem sosial atau sistem politik, selain paham kebebasan. Jika kita gunakan sebagai sistem gagasan, kebebasan ini akan menjadi dasar bagi sebuah paham dan sebuah sistem yang kita sebut sistem liberal atau liberalisme.

***

Sebagai orang Indonesia, orang timur, saya sendiri tidak merasakan kompleks tertentu terhadap Barat. Mungkin saya mendapat keberuntungankeberuntungan tertentu. Sejak pertama kali tinggal di amerika, saya tidak merasakan sesuatu yang disebut cultural shock. Saya juga mengamati perkembangan anak saya. Sejak awal, dia kelihatannya sangat amerika, karena lahir di sana. Dia bersekolah di sana sejak kelas nol kecil. Ketika dia di kelas 3 SD, kami pulang, dan dia harus pindah ke sekolah Indonesia. Saya khawatir dia mengalami cultural shock yang sebaliknyasebagai anak amerika yang tibatiba harus hidup di Indonesia. ternyata secara umum situasinya normal belaka.

Pada satudua bulan pertama memang ada sedikit masalah, terutama dalam soal yang remehtemeh seperti makanan dan gigitan nyamuk. tapi dari sudut paham kehidupan, saya tidak melihat adanya shock tertentu dalam batin anak saya. Saya justru melihat transisi yang smoothtampak dari cara dia bersekolah, bercengkerama, berbincangbincang, bermain dengan kawankawannya. Dia bisa dengan gampang menjadi orang Indonesia. Dan kalau bertemu dengan kawankawannya yang pernah tinggal di amerika, dia bisa berbincang dengan enteng dengan bahasa Inggris.

Jadi saya melihat manusia punya kemampuan untuk beradaptasi. Nilai atau kebudayaan bukanlah sesuatu yang absolut, bukan sesuatu yang kalau sudah dari sononya begitu tidak bisa lagi berubah. Itulah Bugis, itulah Indonesia. Saya melihat kultur,kebudayaan,nilai,pahamitufleksibeldanyangmenentukan adalah manusia. anak saya bisa. Maka kita yang dewasa, yang sudah banyak baca buku dan punya pengalaman lebih banyak, mestinya lebih mampu dan arif. Mungkin kita bisa berkata bahwa anakanak memang bisa dengan gampang seperti itu karena mereka, meminjam Geertz, belum dijalin oleh talitemali nilainilai yang koheren. tapi argumennya bisa juga kita balik: bahwa anakanak bisa seperti itu karena mereka memang tidak bisa berhenti mencari dan mau belajar. Per tanyaannya: apakah kita yang tuatua mau terus belajar atau mau berhenti belajar apakah kita mau mandek pada suatu sistem nilai tertentu, sementara dunia berubah; kita mau mengikuti perubahan dunia atau kita mau dunia yang mengikuti kita

Fakta bahwa terjadi perubahan nilai tidak mungkin bisa ditolak. tidak ada satu pun masyarakat, kecuali mau disebut masyarakat terasing, yang terisolasi, yang tidak mengalami perubahan nilai, perubahan orientasi, perubahan cara hidup. tinggal bagaimana kita melihat perubahan itu. Kita mau melihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita sedih dan merasa terdesak. atau kita mau menyambutnya dengan tangan terbuka dan mengakui bahwa itulah hidup dan kita ingin melihat yang terbaik dari sana Itu adalah hukum alam: perubahan dalam setiaphal.Hiduppunsecarafisikberubah.Iniadalahhalyangelementer. Kalau tidak ada perubahan tidak ada kemajuan.

Mari kita lihat secara gampang. Saya kadangkadang sentimental. Mengingat masa kecil di sebuah desa, di sebuah kota kecil yang indah, hidup dengan saudarasaudara dan ke luarga yang sekarang harus tinggal di Jakarta. apakah saya ingin melihat masa kecil saya yang indah, lalu sedih terusmenerus, meratapi masa yang sudah berlalu, ataukah saya akan melihat ke depan Dalam soal kebebasan pun saya terka dang melihatnya sebagai masalah melihat kehidupan. apakah by nature, secara alamiah, kita mau pesimistis melihat ke be lakang, melihat apa yang berbahaya dan yang jelek dari keh idupan, ataukah kita mau melihat yang bagus dan bermanfaat Ini soal cara pandang kita melihat manusia.

Kalau kita melihat manusia tumbuh bebas dan memilih, mamp ukah kita bersikap optimistis bahwa mereka pada ak hirnya akan memilih dengan benar dan baik atau kita akan selalu takut, berdebardebar, khawatir janganjangan akan begini dan begitu Jadi saya melihat ada dua cara melihat keh idupan yang berhubungan dengan pandangan kita tentang manusia, tentang kebebasan, tentang perubahan. Kalau kita by nature optimistis, tangan terbuka, melihat ke depan, rasanya kita akan lebih gampang menerima paham yang disebut kebebasanmenerima freedom sebagai kehendak untuk bebas itu.

Memang ada sesuatu yang hilang. Saya, misalnya, semula hidup dalam suatu keluarga dan masayarakat tertentu, yang me megang nilainilai tertentu, katakanlah nilai Bugis atau nilai Indonesia. Setelah menengok ke Barat, bukan hanya sekolah, tapi juga karena bacaan dan sebagainya, tentu ada porsiporsi nilai dalam diri saya yang tergantikan oleh sistem nilai baru, dan nilainilai yang lama itu mungkin hilang entah ke mana. tapi saya anggap itu sebagai bagian dari proses saya untuk menjadi lebih dewasa, lebih arif, lebih luas melihat dunia. Saya tidak melihat itu sebagai masuknya unsur amerika atau Barat; saya melihat tumbuhnya diri saya sendiri dalam melihat dunia. Jadi, saya senang bahwa saya berkembang. Bukan karena saya menj adi amerika atau menjadi Barat, tapi karena saya ber kembang sabagai manusia; menjadi mampu melihat begitu banyak hal, belajar begitu banyak, belajar mengadopsi paham yang baru.

Saya tidak perlu membenci paham yang lama atau cara lama. Saya memahaminya. Ibu saya masih sangat Bugis, saya memahaminya. tetapi saya senang dan dia pun pasti senang melihat saya tumbuh berkembang melampaui generasi orangtua saya. Dan saya berharap anak saya pun seperti itu. Saya, bagaimanapun, hidup dalam konteks tertentu, dan tidak ingin anak kita selalu lebih baik dari diri kita, dan mereka akan semakin tumbuh, semakin lengkap menjadi manusia. Dan pada akhirnya, ini lucunya, dalam perjalanan menjadi manusia, ada yang berkata bahwa itu masalah paham yang paling dasar; ada yang berkata bahwa seseorang itu progresif, linear, atau ter kadang berputar kembali menjadi sirkular menuju titik ter tentusaya tidak tahu. tapi yang pasti: ada perubahan, ada perkembangan, ada sebuah proses di mana manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kalaupun disebut ada porsiporsi nilai yang hilang, ada juga penggantinya. Dan mungkin penggantinya lebih baik. harus begitu. Kalau tidak begitu, kita melangkah ke belakang. Sebagai bangsa, Indonesia pun dihadapkan pada pilihanpi lihan. Sebuah masyarakat senantiasa dihadapkan pada pilihanpilihan tentang mau melangkah ke manakah mereka. Saya kira dengan proses demokratisasi yang terjadi tujuh tahun terakhir, kita harus bangga bahwa pilihan kita secara umum benar. te tapi selalu ada orang, kelompok, atau tahap yang bisa meng ham bat proses kemajuan ini. Dan itulah yang harus kita sadari.

Indonesia memang dinamis dan berkembang, terdiri atas begitu banyak suku, banyak kepentingan, banyak keragaman, banyak kebudayaan. tetapi kita harus tahu bahwa dalam garis besarnya kita sudah melangkah dengan baik sebagai sebuah ma syarakat. Membangun sistem yang baru di mana sebagai landasannya paham kebebasan semakin mendapat tempat. Itu yang harus kita sadari bersama. Dan kita harus melawan potensipotensi yang bisa menghambatnya. Saya tadi kasih contoh betapa di daerahdaerah, misalnya Sumatra Barat, masih ada dimensi itu. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam itu dalam berbagai manifestasinya menjadi dominan di kemudian hari. Itu adalah tugas bersama.

***

Dalam soal kebebasan (freedom) ini, kadangkadang orang berpikir bahwa eksperimen yang dilakukan oleh negara amerika Serikat, misalnya, terasa terlalu berani. Mereka memberi kebebasan begitu besar kepada pers, kepada macammacam institusi, sehingga ada kesan bahwa kebebasan itu akhirnya batasnya tipis sekali dengan keliaran atau anarki. Lagilagi, kita perlu lebih cermat melihat hal ini. Kita lihat amerika memang amat sangat bebas untuk ukuran kita, tapi justru masyarakatnya amat sangat teratur. Lihat saja lalulintasnya. Kita mau bilang kita terlalu senang dengan kebebasan, tapi lihatlah jalan raya kita. Begitu liarnya orang, para pengendara. Jadi, kita kadangkadang juga agak munafik dengan diri kita sendiri, atau kitamenerapkan kebebasan pada tempat yang salah.

artinya, pada saat kita harus bebas, kita justru bersikap sebaliknya. tapi pada saat kita harus mengikuti aturan dengan ketat, kita justru mau liar. Perilaku di jalan raya dapat dilihat sebagai salah satu contohnya. tapi dalam masalah hukum pun begitu. Kalau anda ke amerika, atau kotakota yang anda sebut Barat itu, anda lihat betapa tertibnya berlalulintas di sana; itu merupakan cermin betapa tertibnya perilaku mereka dalam hukum. Mereka terima itu, dan bersikap sebagaimana yang dituntut oleh hukum bersama. Kita tahu bahwa hukum adalah kehendak bersama yang diwujudkan dalam ketentuan tertulis. Nah, kita di sini barangkali mau mengatakan bahwa secara budaya kita tidak terlalu senang dengan kebebasan, kita mau kehendak bersama. tetapi dipandang dari sudut kemodernan dalam tata hukum masyarakat, kadangkadang kita jauh lebih liar ketimbang masyarakat yang bebas.

Lalu, apakah semua masalah dengan sendirinya akan beres jika kita mengusung kebebasan tentu tidak. hal ini sangat bergantung pada dinamikanya dari hari ke hari, ketika paham ke bebasan itu diterapkan. Menurut John Stuart Mill, salah satu pem ikir tentang paham kebebasan di Inggris pada abad ke19, keb ebasan adalah prakondisi bagi lahirnya kreativitas dan geniusgenius dalam masyarakat. yang dia maksud bukanlah bah wa semua orang dalam masyarakat itu akan pin tar berkat adanya kebebasan. Maksudnya: dengan adanya kebebasan, ada nya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, ke mungk inan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk men cari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar. Ruangnya di buka lebih besar. Itulah yang menjadi kunci mengapa masya ra kat tersebut tumbuh. Dan ini memang secara empiris ter buk ti.

Dalam masyarakatmasyarakat di mana kebebasan menjadi ins titusi, artinya telah terlembagakan menjadi perilaku, menjadi kitab hukum, sistem politik, dan sebagainya, memang kelihatan me reka maju dengan cepat, atau menjadi negaranegara yang maju. Pasti ada hubungan mengapa Barat adalah juga negaranegara yang paling kaya, paling kuat, sekaligus paling bebas. Pasti ada hubungan antara kebebasan, kesejahteraan, dan ke ma jua n sebuah bangsa. Itulah yang dikatakan oleh John Stuart Mill.

Dan, sebagaimana Mill, saya juga meyakininya.