UTOPIA MASYARAKAT LAMBAK - 2
Berfikir yang mendalam, tak dapat tidak akhirnya akan membawa kita ke alam falsafah. Memang berfalsafah adalah puncak kesempurnaan berfikir, dengan belajar dan menyelidik. Adapun nubuwwah (kenabian) dan risalah (kerasulan) adalah anugerah Ilahi yang dilimpah kurnia-Nya kepada hamba-Nya yang dipilih-Nya. Nabi maksum dan dituntun oleh wahyu Ilahi. Adapun ahli hikmat dan ahli falsafah adalah pejuang yang berjuang mencari hakikat, yang kadangkadang bertemu, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang tersalah, kadang-kadang benar. Kadang-kadang berhasil, kadangkadang gagal.

Sayyid Jamaluddin al-Afghani

Seringkali kita mendengar bahwa haruslah kita teguh memegang tradisi kita dengan baik agar ia dapat memberi panduan dan makna dalam kehidupan kita. Apakah yang dimaksudkan dengan tradisi itu Huraian oleh Rendra, seorang penyair Indonesia yang tersohor, bisa memberi kita gambaran umum berkenaan tradisi. Ia adalah kebiasaan yang turuntemurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sesebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang tetap dan pasti. Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena tradisi itu bukan obyek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula. Ia bisa disederhanakan, tetapi kenyataannya tidak sederhana.1

Sebaliknya juga boleh kita tambah bahwa harus jua kita memberi makna akan tradisi itu sendiri agar hayat tradisi itu bersambungan dan beriringan dengan jalan dan keperluan kehidupan kita kini. Inilah tugas kebudayaan yang harus terpikul ke atas mereka yang sedar dan prihatin akan peranan tradisi dalam kehidupan berbudaya. Nicholai Berdyaev, seorang pemikir asal Rusia yang tersohor, pernah mentakrifkan tradisi sebagai a creative link, as the triumph of memory over the power of time.2 Dalam pemahaman inilah soal tradisi pernah mendapat perhatian dalam perbincangan soal pemikiran nilai dan pemikiran Melayu oleh Shaharuddin Maaruf. Dengan menolak pemahaman tradisi yang statik dan ketidakbolehberubahan, sebagaimana yang sering ditanggapi oleh golongan konservatif dan tradisionalis agama, Shaharuddin merungkai makna tradisi dalam segi kreatif dan dinamikanya. Baginya tradisi harus difahamkan sebagai:

cultural or value systems which have been influential in moulding or shaping the worldview of a given people for a significant period in their cultural history. These cultural or value systems represent the stable core, which

1 Rendra, Mempertimbang Tradisi. (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 3. 2 Nicholas Berdyaev, Towards A New Epoch. (London: Geoffrey Bles,

1949), h. 85.

provides the basis for the societys responses to contemporary and future challenges. It is by means of such traditions that a society moves or advances in time, all the while adjusting, adapting, assimilating new elements and discarding obsolete ones, and simultaneously retaining and maintaining continuity with the basic or fundamental elements of the cultural heritage of the past.3

Seorang pemikir Islam kontemporari Muhammad Abed alJabiri juga pernah mentakrif tradisi dalam penilaian yang sama. Dengan melihat kedinamikan tradisi yang bergerak dalam sejarah, beliau menyimpulkan: Tradisi yang intinya adalah ketergantungan kepada prinsip-prinsip dasar dalam rangka melampaui masa ini dan juga untuk melampaui masa lalu yang lebih dekat mendukung keberadaan masa ini. Dan ini kemudian melompat ke masa depan melalui pelbagai rangkaian dialektis kontinuitas dan diskontinuitas terhadap masa lalu dan masa ini sekaligus. 4

Sudah terjadi dalam sejarah di mana peninggalan kepada sesuatu tradisi akhirnya menyaksikan kedangkalan dan kesembronoan. Inilah terjadi dalam era kebangkitan Islam yang lagak menyeru kembali ke al-Quran. Dipimpin oleh rencaman aktivis, siswa dan profesional, mereka mengkedepankan Islam dakwah yang pada mulanya bergengsi Islami, tetapi sama

3 Shaharuddin Maaruf, Some Theoretical Problems Concerning

4

Tradition and Modernization Among the Malays of Southeast Asia, dlm. Young Mun Cheong (ed.) Asian Traditions and Modernization: Perspectives from Singapore. (Singapore: Times Academic Press, 1992), h. 242-3.

5 Dipetik dlm Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat. ( Yogjakarta: Samha & Keris, 2002), h. 222

6

beku dan sama angkuh dengan Islam tradisional dan struktur sekular yang mereka serang dan kecam.5 Bukan saja kelompok ini mengkesampingkan sebagai contoh tradisi kitab, mereka juga menepis setiap segala tradisi yang telah berakar dalam masyarakat sebagai tidak Islami berdasarkan perkiraan puritan mereka. Dek kerana pandangan falsafah hidup yang sempit serta wawasan sejarah dan sosiologikal yang tidak terbangun, mereka gagal untuk menilai dan mengikhtiraf tradisi dalam erti kata yang sebenarnya.

Makna Transformasi Masyarakat

Sering kita mendengar kekata transformasi. Ia membawa erti proses dan dinamika yang membenarkan peningkatan mutu dan jumlah, serta penyebaran dan penerimaan sesuatu perkara, benda atau idea. Transformasi budaya menurut seorang sarjana, merupakan perubahan yang menyangkut nilai-nilai dan struktur sosial.6 Menurut beliau, apabila struktur sosial berubah ia akan melibatkan cabaran-cabaran seperti keadilan sosial, disiplin, mobilitas dan solidaritas sosial. Masalah ini akan meruncing sekiranya transformasi budaya tidak berakar pada nilai budaya bangsa sehingga menimbulkan masalah solidaritas dan disiplin sosial. Ini bermakna pentingnya transformasi masyarakat yang harus dapat berakar pada budaya dan identiti bangsa, tanpa tercabut atau terasing daripadanya.7

7 Hal ini telah saya bincangkan dlm Azhar Ibrahim, Contemporary Islamic

8

Discourse in the Malay-Indonesia World: Critical Perspectives. (Petaling Jaya: Strategic Information and Research Development Centre, 2014)

9 Suyatno Kartodirdjo, Transformasi Budaya dalam Pembangunan, dlm G. Moedjanto, B. Rahmanto, J. Sudarminta(ed.) Tantangan kemanusiaan universal : antologi filsafat, budaya, sejarah-politik & sastra : kenangan 70 tahun Dick Hartoko. (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992), h 145

10

11 Ibid., h.146

12

Dalam sejarah peradaban dan kebudayaan, kita telah menyaksikan transformasi apabila suatu budaya baru yang masuk dan diperkenalkan kepada lapisan lokal, bersintesis antara dua unsur, luar dan dalaman, sehinggakan melahirkan suatu bentuk kebudayaan yang baru, dengan ciri khasnya, tanpa terikat secara total dengan unsur yang baru dengan unsur yang lama. Menurut Mochtar Lubis sebenarnya transformasi budaya bergerak setiap detik kehidupan manusia dan masyarakat. Tambah beliau:

Hanya mata yang amat jeli dan penciuman yang sangat tajam yang dapat melihat benih-benih perubahan yang demikian kecilnya yang sedang menyebar diri di antara manusia dan di tengah masyarakat. Amat penting untuk dapat memantau benih-benih transformasi ini sedini mungkin, agar transformasi yang berlaku dapat didorong senantiasa ke arah yang terbaik. Celakalah sebuah masyarakat seandainya pemimpin-pemimpinya, terutama mereka yang berkuasa, dan kaum intelektualnya, tidak memiliki kepekaan dan kearifan untuk mendeteksi benih-benih transformasi

Transformasi itu bukan evolusi, bukan juga revolusi. Transformasi adalah kebangunan daripada pelbagai unsur yang bergerak dan berpotensi menjadi satu idea dan praktis yang bukan saja baru, tetapi menawarkan gerakan dan isi yang padu dan bertenaga.

Transformasi dalam konteks perbincangan kita harus datang dari upaya memilih tradisi yang kreatif, selain berdepan menyahuti cabaran semasa dengan keupayaan dan kemahuan utuh.

Transformasi itu menyangkuti perubahan yang bergerak dan melihat ke depan tanpa pula melulu meninggalkan tradisi. Ia juga bukan sekadar pembaharuan yang disumbu oleh paradigma silam. Ia adalah keberanian bukan saja memadukan unsur luar dan dalam, tetapi mengambil yang baik dari yang lama dan yang baru sehingga digubal untuk keperluan masa kini, namun tetap anjal dan terbuka untuk perubahan yang selanjutnya. Inilah sisi dinamika dalam transformasi.

Manusia sebagai Ejen Tradisi yang

Transformatif

Tradisi berfikir adalah asas kepada masyarakat dan budaya yang transformatif. Apa-apa jua transformasi yang boleh berlaku dalam sesebuah masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, tidak akan lengkap selagi tidak ada transformasi intelektual. Tradisi berfikir ini bukan sahaja akur pada kemampuan akliah manusia tetapi mengikhtiraf hikmah manusiawi yang kuat dengan kebersamaan spiritual. Sesungguhnya tradisi itu berperanan besar dalam kehidupan individu dan masyarakat. Sebagai praktis dan kesadaran kolektif, ia berperanan atau berfungsi menjadi mekanisme yang bisa membantu memperlancar pertumbuhan pribadi anggota masyarakat, selain menjadi gagasan nilai, memberi rangka cara kita menjalani kehidupan bermasyarakat, meletakkan batas tertentu, sekaligus memberi arah kepada cara kita menjalankan dan menanggapi kehidupan ini. Sebaiknya juga kita perhatikan empat cabang tanggapan apabila soal tradisi diperkatakan dalam wacana kebudayaan kita kini, sama ada yang bersifat popular, jurnalistik, maupun yang ilmiah (ataupun yang sok ilmiah).

Tradisi Basi

Pertama ialah tanggapan tradisi yang bersifat lapuk dek kerana berulang sesekian lama sehingga hilang kekuatan daripada pengertian tradisi itu sendiri. Kita menyifatkan ini sebagai tradisi basi. Ia terungkap bila takrifan dan lambang tradisi yang digendangkan oleh nasionalis dekad-dekad lalu terus dikumandangkan. Laungan dulunya berkobar dan mungkin relevan pada zamannya, tetapi sekarang ia telah basi, ataupun tidak bermaya kerana telah menjadi klise. Ternyata tradisi basi dari mula ada masalah, kerana ianya tidak diisi dengan pengukuhan intelektual dan moral-etika sehingga ia bergerak dalam dataran seruan, yang mulanya mempersonakan tetapi kemudian menjadi kontang kerana tiada pengisian makna dan penerokaan yang baru dan kritis. Pada mulanya, pendukung tradisi basi ini merasa gah dengan seruan dan cogankata mereka tentang mempertahankan tradisi. Tetapi disebabkan seruan tersebut tidak diisi dan diperluaskan, makanya ruang dan makna tradisi yang biasa-biasa aja diulang seru, sehingga maknanya tumpul dan kaku. Mereka mempertahankan tradisi yang usang dan rapuh. Inilah tradisi basi yang terbiar lama oleh rencah-rencah populisme nasionalis kanan yang dangkal dan tersalah arah.

Tradisi Khayali

Satu lagi segi penyempitan tradisi datang dalam aliran yang boleh kita kenali sebagai tradisi khayali ataupun tradisi fiksi yang dicipta dan dipersonakan oleh segelintir pendukungnya. Tradisi khayali ini ditanggapi sebagai tradisi yang jati, gemilang dan pernah berkembang dalam sesuatu zaman tertentu, khasnya zaman bahari kebudayaan itu. Unsur imaginasi tentunya mesti ada dalam pembikinan tradisi, tapi dalam aliran khayali ini unsur imaginasi menjadi terberat sehingga menafikan sejarah sekaligus, ataupun apa yang disifatkan sebagai ahistorical. Dalam cara pemikiran ini, ianya berasyik mengatakan kita ada sejarah tradisi yang kaya dan silam, tetapi jarang pula mahu ia mengikhtiraf bahwa kebudayaan dan tradisi harus bergerak sezaman dan tradisi mencipta sejarah baru. Keromantisan pada kegemilangan masa lampau lantas melihat tradisi hanya boleh wujud dari zaman gemilang tersebut, malahan zaman gemilang itu hanya mahu dilihat dengan kebesaran yang muluk-muluk, tanpa mahu mempermasalahkan kepincangan yang ada. Lain perkataan, tradisi khayali ini adalah fiksi keromantisan pada kehebatan masa silam sedang penafian pada keadaan hari ini menyebabkan ia langsung tidak membumi pemikiran dan perbuatan.

Tradisi Asasi

Cabang tanggapan yang ketiga boleh kita sebut sebagai tradisi asasi yang bertolak daripada idea bahwa hanya ada satu sumber tradisi yang sah dan luhur, dan ianya datang dari zaman dan generasi yang luhur dan mulia pula. Lain dan luar dari tradisi yang dianggap luhur ini akan dianggap sebagai pencemaran yang merosak. Inilah segi puritanical yang mungkin dapat kita kesani dalam fahaman tradisi ini. Tanggapan seperti ini hanya menetapkan lingkungan tradisi itu sebagai sesuatu yang telah ditetap pada masa yang silam dan ianya wajib, munasabah dan relevan untuk sepanjang zaman dan tempat. Tradisi dalam fahaman ini ialah sesuatu yang tetap dan tamat formulasinya dan hanya perlu diperturunkan kepada generasi kini dan mendatang. Ternyata dalam sikap konservatif ini, terkandung juga sikap taksub yang berketik mengatakan tradisi yang asasi ini adalah paling benar, syumul dan sempurna.Ternyata fahaman ini telah menutup atau membatasi sumber tradisi dalam suatu rangka budaya dan jangka waktu sejarah yang tertentu. Tradisi asasi ini akhirnya hanya membuahkan arogansi.

Tradisi Manusiawi

Cabang yang terakhir ini mempunyai sifat pemaknaan yang anjal. Ianya disifatkan manusiawi atas tiga sebab. Pertama, persoalan kemanusiaan menjadi dasar dan keprihatinan utama dalam weltanschauung (sarwa pandang dunia) tradisi ini. Ertinya, soal manusia dan kehidupannya menjadi keutamaan dalam tradisi ini demi mengacu kesempurnaan, kemaslahatan, keadilan dan kearifan manusia dalam lingkungan hidup bermasyarakat dan bertamadun. Kedua, ianya manusiawi kerana cakrawala nilainya berpasak kepada nilai-nilai universal atau sejagat, namun dapat menimbangkan perihal partikular atau setempat. Keuniversalan yang diutamakan ini mengambil kira keprihatinan setempat, selain keuniversalan itu tidak akan terlestari sekiranya ia tidak membumi dalam tingkat setempat atau partikular. Ketiga, manusiawi dalam erti kata tradisi ini mewarisi apa jua idea dan pemikiran besar dari mana-mana tamadun dunia dan menanggapi ianya sebagai sebahagian daripada tradisi itu sendiri, sedang tradisi itu sendiri tidak kerdil untuk bangun menyumbang idea dan pemikiran kepada peradaban kemanusiaan yang lebih besar. Tradisi manusiawi inilah yang paling dekad dengan nilai yang terkandung dalam nilai agama dan kemanusiaan yang sejagat.

Keempat-empat kecenderungan tradisi yang disebut di atas ini boleh dikatakan bergerak dalam ranah pemikiran kita, dan mungkin juga saling bertindan. Kefahaman sejarah dan sosiologikal yang tidak terbangun, serta falsafah sosial yang cetek akan menyebabkan dominasi tradisi yang regresif. Satu darinya adalah dari tradisi feudal yang sering digambarkan secara muluk-muluk, tetapi sebenarnya adalah antitesis kepada tradisi manusiawi. Tanpa membicarakan panjang lebar tentang tradisi feudal yang masih bertahan dalam fikiran dan psikologi masyarakat, kita tukil pendapat Hamka tentang segelintir kesan negatif berakibat dari tradisi feudal yang bertahan:

Didikan feudal di negeri kita sangatlah menekan jiwa. Kepada seorang raja harus menyusun sepuluh jari, menyembah. Beliau harus dibesarkan: ke bawah duli, ertinya tidak boleh berhadapan dengan beliau, hanya berhadapan dengan duli, iaitu debu yang ada di bawah sepatunya. ke bawah kaus baginda:; alangkah hinanya. Di Aceh kaum feudal harus dibahasakan ampun! Kita tidak bersalah meminta ampun juga! Diri kita sendiri harus dibahasakan patik dalam istana raja-raja Melayu. Sedangkan patik ertinya anak anjing! Orang lain dibahasakan pacal tuanku, pacal ertinya budak. Kalau raja memberikan anugerah kepada seseorang, dinamai

ayapan, ertinya nasi dalam tempurung yang biasa diberikan kepada anjing. Bahasa untuk diri sendiri sangatlah rendah di Indonesia ini: Hamba, sahaya, dalam bahasa Melayu. Abdi dalam bahasa Sunda.Kaula dalam bahasa Jawa.Semuanya itu bererti budak.

Memilih dan Membangun Tradisi

Setelah kita memerikan empat cabang tanggapan tentang tradisi dengan makna dan ruang lingkup masing-masing, makanya terpanggil di pihak kita untuk merumuskan manakah satu tradisi yang mahu kita bela (dalam pengertian menjaga) dan bela (dalam pengertian mempertahankan), selain sedar bahwa tradisi yang kita yakini dan pegangi sekarang hanya akan bermakna kepada kehidupan ini kalau ianya relevan dan substantif kepada keadaan semasa dan ia pula suatu tradisi yang hidup dan dihidupkan atas ikhtiar manusia, yakni dalam pengertian memberi makna kepadanya. Mohamed Arkoun pernah menegaskan: sebuah tradisi akan mati, kering, dan stagnan jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran-ulang sejalan dengan dinamika sosial. Inilah pertanggungjawaban ke atas kita yang sedar akan peranan dan fungsi tradisi.

Dipertegas Rendra bahwa tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrat hidup. Dalam riwayat dia berkarya, tradisi telah menjadi bahan inspirasi beliau, selain ditafsir kembali tradisi untuk kerelevanan hari ini. Beliau menepis golongan yang terbelenggu dengan pencarian yang baru, dan tidak berselera menjenguk dari tradisi yang sedia ada. Dengan berdepan dengan tradisi secara kreatif, Rendra beranggapan bahawa dia telah memperkembangkan tradisi sebagaimana tradisi telah mengembangkan dirinya.

Tidak keterlaluan untuk mengatakan bahawa Rendra adalah antara seniman Nusantara yang telah terkedepan dalam mengapresiasi tradisi kebudayaaan bangsanya secara kritis dan kreatif. Inilah yang beliau yakin sewaktu berfikir dan berkarya, sehingga beliau menyimpulkan seperti berikut:

pekerjaan-pekerjaan kebudayaan di Indonesia akan menemui kesulitan apabila masyarakatnya tidak bersikap kreatif terhadap tradisi. Tradisi bukanlah sesuatu benda mati. Seharusnya ia adalah suatu yang tumbuh dan berkembang, sesuai dengan kehidupan. Tradisi diciptakan oleh manusia untuk kepentingan hidup dan bekerja. Tetapi tradisi yang popular dewasa ini adalah tradisi yang kaku untuk dipakai bekerja, tradisi yang diperlakukan oleh masyarakatnya sebagai Kasur tua untuk tidur-tidur saja, bermalasmalas menempuh gaya hidup cendawan.

Tradisi sebagai Perlawanan

Tradisi yang tercerah bisa menginspirasi untuk kita berhadapan dengan cabaran hari ini yang ada sisinya sangat tidak manusiawi. Dalam sejarah ada tradisi pemikiran yang telah menyanggah aliran ideologi yang menggunakan kuasa mutlak dan kekerasan guna mempertahankan kuasa. Inilah yang dapat kita lihat dari tradisi Islam yang humanistik yang menyanggah kekuasaan feudal, sehingga jelas memperingat batas-batas kekuasaan penguasa feudal dengan mengingatkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan yang diamanahkan kepada mereka sebagai pemimpin. Di zaman kolonial pula, tradisi pemikiran Islam yang bergerak atas dasar berjihad untuk mempertahankan agama dari pencerobohan, telah menjadi kuasa yang bangun menentang kuasa penjajah. Di sinilah tugas generasi hari ini menelaah tradisi pemikiran mana yang telah berfungsi sebagai gagasan perlawanan, sebagaimana ada tradisi yang terlumpuh menjadi pasif, beku, malah pula bersekongkol. Makanya menjadi tugas generasi ini pula untuk memastikan bahawa tradisi pemikiran dan nilai yang progresif dapat terus dihidupkan vitalismenya.

Tradisi yang Terus Menjadi

Dengan pemikiran yang peka kepada sejarah, kita harus dapat menangkap beberapa aspek dari tradisi yang dicipta bersandarkan kepada kepentingan tertentu. Inilah yang dapat disebut sebagai the invention of tradition16 sehinggakan sesuatu institusi dalam masyarakat kita itu dianggap sebagai tradisi dari masyarakat terdahulu dan tidak boleh diubah dan ditinggalkan kerana ia menjadi sebahagian daripada identiti kita. Itulah sikap yang sendirinya akan melumpuhkan tradisi itu sendiri.

Kalau kita terpenjara dalam pemikiran sejarah yang kaku dan beku, tentu saja kita akan menanggapi tradisi dalam hal yang sama. Sekiranya tradisi hanya diawetkan menjadi hiasan ia kelak menjadi pameran atau gendangan yang secara narsisistik kita pertahankan, tanpa ia dapat bergerak berubah atau mengevolusi. Berlawanan daripada pemikiran seperti ini ialah melihat bahwa tradisi itu selalu mengevolusi dengan peredaran zaman, ada tempat yang lebih cepat perubahannya, tetapi di tempat lain agak lambat. Sebagai contoh, kita ambil institusi masjid kita. Cuba kita bandingkan kitab-kitab agama yang

Melayu, dlm. Di Sebalik Jendela Utusan: Suara Keramat.(Kuala Lumpur: Utusan Melayu, 1989)

16

digunakan dalam pengajian di masjid-masjid kita. Rata-rata teks-teks klasik masih mendominasi dalam pengajian agama. Tetapi kalau kita lihat senibina membangun masjid, kita dapat lihat perubahan yang drastik. Corak masjid-masjid di Nusantara rata-rata berubah ke arah senibina Arab dan Mughal dengan kubah bulat dan menaranya, dan kita telah meninggalkan atau jarang lagi membina masjid dengan senibina Melayu/Nusantara. Makanya tradisi senibina Melayu dalam membangun masjid lama kelamaan pudar dan terkesamping.

Tradisi dan Kesedaran Pemuliharaan

Ada sebahagian dari tradisi kita yang perlu penjagaan, pemuliharan dan penyuguhan. Contoh dalam tradisi kerja tangan termasuklah teknologi binaan kapal dan ketukangan kayu tembaga dan perak. Ini menyangkuti hal estetika, cara kita menyusun, mengubah dan menyerikan. Kalau tak dijaga,ia akan terus hilang. Seni ukiran kayu dan seni ketukangan tembaga kita, termasuk membuat keris, sudah semakin mengecil atau pupus. Bukan saja kita telah membenarkan banyak tradisi ketukangan tradisional pupus, tetapi tempat-tempat sejarah baik dari zaman kuno, Islam maupun penjajahan dibiarkan terbengkalai dengan tiada kesedaran pemuliharaan yang utuh. Dan kalaupun ada ia lebih dilihat sebagai sebahagian lokasi untuk tarikan pelancong, dan bukan atas dasar menghargai tradisi dan memulihara ia dengan bersungguh-sungguh.

Membedakan Tradisi dan Warisan

Sejalan dengan pemikiran ini, tradisi juga usah pula disamakan dengan warisan kerana warisan memang terangkum dalam konsep tradisi tetapi tradisi tidak boleh diseertikan dengan warisan. Sekiranya perbedaan ini tidak dapat dibuat, makanya kecelaruan dalam pemikiran dan pemahaman tentang soal kebudayaan akan berpanjangan. Namun apabila dibedakan makna tradisi dan warisan, ini tidak bermakna kita boleh memperlekeh makna dan peripentingnya warisan itu sendiri. Warisan bukan benda atau praktis yang saja-saja diperturunkan dan diwarisi daripada leluhur sebelumnya. Tapi generasi yang mewarisi itu, tidak dapat tidak, harus memilih dengan bijaksana akan warisan yang mahu dipertahankan, dilestarikan dan diperbangunkan. Lain perkataan, harus dapat kita menolak dengan tegas bahwa warisan kebudayaan itu bukan nisan kebudayaan. Hatta, kita simpulkan pengertian warisan yang sayugia kita pertahankan sepertinya yang terkandung dalam barisan lirik sebuah lagu yang pernah didendangkan oleh Sudirman Hj. Arshad. Nadanya mempertegaskan haruslah kita berani menjadi penyambung warisan, berseru dengan semangat patriotik kepada negara dan bangsa. Semestinya kita tambah juga, ianya juga harus menjadi penyambung tradisi yang kreatif dan kritis untuk kemanusiaan bersama.

Warisan

Di sini lahirnya sebuah cinta

Yang suci abadi sejati

Di sini disemai cita cita

Bercambah menjadi warisan

Andai ku terbuang tak diterima

Andai aku disingkirkan

Ke mana harus kubawakan

Ke mana harus kusemaikan cinta ini

Betapa di bumi ini ku melangkah

Ke utara, selatan timur dan barat ku kejejaki

Aku bukanlah seorang perwira

Gagah menjunjung senjata

Namun hati rela berjuang walau dengan cara sendiri Demi cinta ini

Ku ingin kotakan seribu janji

Sepanjang kedewasaan ini

Ku ingin sampaikan pesanan

Akulah penyambung warisan

Dalam peredaran sejarah, setiap generasi menempuh tradisi dengan cara mereka sendiri. Generasi hari ini peneraju dan pengaju tradisi seterusnya, tanpa kerdil menghadapi masa depan, dan tidak pula taksub mempertahan jenisan tradisi yang rapuh dan tidak manusiawi, melainkan menggali dan menambahi tradisi yang tercerah dan progresif. Inilah yang menjadi harapan ramai di antara kita, sebagaimana yang telah diilhamkan dari pena puitis Masuri S N :

Kami Anak Zaman Ini

Kami anak zaman ini

Mewarisi tujuh turunan papap sekali

Dalam darah kami mengalir pasti

Pusaka Poyang sejak zaman bahari

Kami mewarisi tradisi silih berganti

Darah daging kami penuh budaya asli

Dalam urat campur tulang berbaur langsung Kami hidup terus terang tiada canggung

Kami mewarisi sejarah beradab silam

Sejak kerajaan berdiri dan hilang tenggelam

Apa yang tinggal hanya tulang-tulang

Hampa debu dari picitan usang

Kami anak zaman ini

Tidak mahu mengemis sesuap nasi

Kerana bumi kami telah memahat janji

Kami punya hak untuk hidup berdaulat tinggi.