Sudah cukup lama sebenarnya kumpulan tulisan ini di siapkan dan beberapa sahabat dekat saya di Freedom Institute, teru tam a Nirwan Dewanto dan Zaim Rofiqi, sudah membacanas kahnya berulangkali. Zaim bahkan telah menerjemahkan dengan baik beberapa paper saya dalam bahasa Inggris yang saya tulis di Columbus, Ohio. tapi entah kenapa, saya cukup lama terombangambing antara ya dan tidak. Barulah setelah me reka meyakinkan beberapa kali, akhirnya saya setuju.
Malahan, setelah melihat kumpulan tulisan ini dirangkai menjadi satu draf buku, dibagi dalam topik yang tersusun rapi, saya jadi agak terkejut bercampur senang. ternyata, dalam rentang waktu 19932008, saya telah menulis cukup banyak tentangberagamisu,mulaidarifilsafatpolitik,demokratisasi,globali sasi, kebudayaan, ekonomi, politik internasional, hingga tokohtokoh politik dan sejarah. Keragaman isu dan topik yang ada di sini barangkali mencerminkan kelemahan saya yang cenderung tidak terlalu sabar untuk berlamalama mempelajari hanya satu atau dua topik saja. Saya senang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, membaca buku politik minggu ini, dan minggu depan sudah memegang buku lain lagi mengenai sejarah ekonomi.
yang juga membesarkan hati saya adalah bahwa, di sam
ping keragaman dan cakupannya yang cukup luas, kumpulan tulisan ini ternyata tidak terceraiberai, melainkan disatukan oleh beberapa ide dasar, suatu cara pandang tertentu terhadap dunia dan kompleksitas permasalahan di dalamnya. George F. Will pernah berkata bahwa ideide datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kalau harus menggunakan terminologi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa tangkai anggur saya adalah gagasan liberal, dalam pengertian klasik, suatu gugusan ide yang did asarkan pada kepercayaan besar terhadap kebebasan manusia. Bar angkali, tanpa sepenuhnya sadar, gagasan inilahyang tumbuh di Eropa pada abad ke18, terutama di Inggris dan Skotlandia yang selalu mewarnai cara pandang saya terhadap dunia di sekitar saya.
Saya cukup senang, karena dengan begitu sebagai penulis saya bukan lagi tanpa alamat. A writer, seingat saya kolomnis thomas L. Friedman pernah setengah meledek, is an observer with attitude. Seperti setiap penulis lainnya, saya percaya bahwa ideide saya mewakili kebenaran, setidaknya untuk sementara waktu. tapi kalau toh ternyata saya keliru, atau mungkin terlalu kaku dan sempit dalam memandang beberapa hal, setidaknya saya telah berusaha menawarkan sesuatu.
Karena itu, kalau boleh meminjam Martin Luther, saya ingin berkata, Ich kann nicht anders. Gott helfe mir. Amen. Kini saya serahkan kepada sidang pembaca untuk menilai apakah setangkai anggur yang saya tawarkan lewat buku ini cu kup bermanfaat dalam upaya pencarian pengertian yang lebih baik tentang halhal penting dalam kehidupan ini.
***
Saya masih harus membukabuka catatan pribadi untuk mengerti dengan persis kapan dan bagaimana ideide dasar yang ada dalam kumpulan tulisan ini mulai membentuk kerangka berpikir saya. Pada mulanya barangkali adalah sifat dan kepribadian. Beberapa kawan sering memperingatkan saya dengan setengah frustrasi bahwa saya terlalu optimistis dalam me lihat manusia dan kehidupan. Saya tidak tahu, tapi harus sa ya akui bahwa saya memang senang dan gampang tertarik de ngan halhal yang membangkitkan semangat, pandangan yang terbuka dan melihat sisi yang baik dari kehidupan ini, yang melihat kelemahan manusia sebagai sisi lain dari kek uatannya, yang melihat proses perjalanan waktu sebagai suatu kecenderungan progresif justru karena manusia selalu berusaha, bekerja, berpikir, menghindari kelemahannya sambil mendorong kelebihannya, dan seterusnya dan seterusnya.
apakah hal itu adalah hasil belajar, akumulasi pengalaman hidup, atau datang begitu saja, suatu kenyataan internal yang berada di luar kontrol saya terusterang, saya tidak tahu. tapi sa ya menduga, hal itulah barangkali yang menyebabkan saya gampang tertarik pada gagasan liberal sewaktu mulai mend alami teoriteori sosial semasa mahasiswa di uGM sekian tahun silam. Setelah melewati tahuntahun pertama dan terpukau pada pemikiran sosialis, teori ketergantungan, hingga ke Jalan hidup Mahatma Gandhi, saya seolah mendapat pencerahan dan pelanpelan mulai menyadari kelemahan ideide yang saya pelajari. Saya mencari penggantinya, dan tanpa mengalami banyak kesulitan, bertemu dan masuk semakin dalam ke jantung tradisi pemikiran liberal klasik.
Saya merasa bahwa ideide ini bukan saja lebih benar, lebih mampu membawa manusia ke citacita yang ideal, seperti kesejahteraan, perdamaian, kemajuan, melainkan juga karena ia lebih kena di hati saya. ada skeptisisme, tetapi ada juga optim isme. ada romantisme, tetapi tidak kurang juga realisme dan sikap yang realistik dalam memandang manusia dan masya rakat. Singkatnya: suatu pandangan dunia yang ingin mendo rong kemajuan, tetapi dengan tetap berpijak di bumi, dengan menyadari kelemahan dan kelebihan manusia sebagai manusia; suatu pandangan yang menyadari bahwa masyarakat yang lebih baik hanya mungkin dibangun justru dengan menyerap dan memberi saluran pada kelemahan dan kelebihan tersebut, pada kecemasan dan harapan mereka, bukan dengan mematikan ataumenafikansalahsatunya.
Setelah periode awal di yogya, sambil melanjutkan studi di aS saya berusaha semakin mendalami ideide tersebut, sambil terus berupaya memahami alternatif dan penentangpe nentangnya. Pastilah usaha seperti ini tidak akan pernah bertemu ujungnya. Kalau bisa memutar kembali jarum jam, saya sebenar nya ingin mempelajari lebih banyak lagi. Kegelisahan tidak pernah berhenti. Pertanyaan tidak pernah selesai. Walau demiki an, sejauh ini saya sudah merasa sanggup berdamai dengan diri sendiri. Dengan segala kelemahan yang ada, saya merasakan kepuasan tersendiri telah mencoba meng eksplorasi suatu gagasan, berikut jalinan ideide turunannya, dengan keterlibatan emo sional yang cukup intens, dengan perasaan bahwa saya berdiri on the right side of history.
***
On the right side of history sebagian orang mungkin bertanya, bukan tanpa alasan yang jelas. Bukankah akhirakhir ini, dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan rontoknya raksasaraksasa di Wall Street, dengan krisis global saat ini, yang mengingatkan banyak orang pada Depresi Besar di tahun 1930an, kapitalisme dan liberalisme sudah gagal Moskwa 1989 dan Wall Street 2008: tidakkah keduanya menjadi bukti ga galnya dua sistem besar, terkuburnya dua isme modern yang saling bersaing
Karena masih berada di tengah pusarannya, agak terlalu diniuntuksaatinimenjelaskanakhirpraharafinansial2008.Dan tentu saja dengan terjadinya peristiwa ekonomi yang dahsyat inimungkin ia bisa disebut sebagai krisis globalisasi pertama di abad ke21akal sehat menuntut kita untuk bertanya dan menimbangnimbang, kalau perlu dengan menggali kem bali asumsiasumsi dasar yang ada. Dan kalau kita membaca komentar dan tulisantulisan para pemikir di berbagai media populer dalam mingguminggu belakangan ini, hal itu me mang sudah mulai dilakukan. Paul Krugman, George Soros, alan Greenspan, Francis Fukuyama, Fareed Zakaria adalah beberapa penulis dan pemikir, belum lagi para editor dan war tawan, yang sudah mencoba melakukannya dengan versi mereka masingmasing.
tapi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang kapitalisme vs sosialisme, atau kapitalisme vs sistem lainnya. Perde batan mereka adalah pengulangan kembali dalam bentuk baru perdebatan Keynes vs hayek di tahun 1930an yang mencari jalan keluar dan sebabmusabab terjadinya Depresi Besar. Ia adalah serangkaian perdebatan intramural: bagaimana meningk atkan dan menyesuaikan sistem kapitalisme dengan konteks zamannya.
Kalau kita lihat faktafaktanya, krisis global 2008 adalah kom binasi dari beberapa faktor pemicu. Pertama, meletusnya bubble pada sektor perumahan di aS; kedua, terlalu lamanya ke bijakan easy money the Fed di bawah alan Greenspan; dan ketiga,terjadinyapeningkataninovasiinstrumenfinansialterutama dalam satu dekade terakhir, seperti collateralized debt swap dan berbagai derivatives lainnya. Faktorfaktor ini berlang sung dalam konteks globalisasi yang semakin intensif, yang berarti bahwa begitu banyak kalangan dari berbagai belahan du nia yang juga turut terlibat secara serempak, langsung atau tidak, dalam jalinan satu atau dua faktor tersebut.
Selain itu, dari segi mood para pelaku bisnis dan tokohtokoh pemerintahan terutama di aS, tumbangnya komunisme pada akhir 1980an barangkali memberi ruang yang terlalu luas pada euforia dan optimisme, yang terus berlanjut. Lets dance the night and stop the coming of the morning sun. akibatnya adalah kehatianhatian dan prudence yang berkurang, yang pada ujungnya adalah malapetaka.
Isu yang diperdebatkan sekarang adalah perlu tidaknya peran pemerintah diperbesar agar di masamasa mendatang ke salahan yang sama tidak terulang kembali. Perlukah regulasi diperketat, pengendalian dan kontrol usaha swasta diperkuat
Saya kira pendulum memang sedang bergerak, walaupun ma sih tersisa pertanyaan besar: regulasi seperti apa, sejauh mana, peran pemerintah yang bagaimana apapun jawaban atas pertanyaan ini, ia pasti akan bersifat temporer, sebagaimana se telah Depresi Besar teoriteori Keynesian menjadi dominan, lalu disusul oleh teoriteori hayekian dan Friedmanian.
Justru di situlah salah satu kekuatan sistem kapitalisme. Dari satu krisis ke krisis lainnya ia menyerap pembaruan, perubah an, penyesuaian dengan kondisi kontemporer, sambil terus memperbesar kemungkinan bagi banyak orang untuk meraih kecukupan material. Semua ini terjadi tanpa menghilangkan elemenelemen dasar yang menopangnya sebagai suatu sistem, yaitu kebebasan dalam memilih, kebebasan untuk berusaha, kebebasan untuk mengambil risiko, serta penghargaan terhadap hakhak dasar pemilikan.
Jadi, walaupun bandul pemikiran tentang halhal tertentu dalam pengelolaan kehidupan bersama sedang bergeser, dalam haliniisuisuekonomiyangspesifik,sayamasihbelumterlaluyakin bahwa tenda besar pemikiran liberal klasik sedang goyah. Malah mungkin sebaliknya. Dengan semakin meningkatnya infrastruktur pendidikan di berbagai belahan dunia, dengan demokratisasi yang terus terjadi, walaupun dengan pasang dan surut, dengan semakin banyaknya informasi dan pilihan yang tersedia bagi semakin banyak individu: semua ini semakin memungkinkan kita untuk memikirkan, merumuskan dengan lebih baik, serta membela ideide kebebasan dalam berbagai aspeknya.
***
Dengan menjelaskan semua itu, saya tidak mengatakan bahwa pemikiran liberal tidak memiliki ketegangan di dalam dirinya sendiri. Ia bukanlah suatu kerangka berpikir yang memiliki jawaban yang selesai terhadap semua soal. Dari kerangka berpikir yang pada dasarnya sama, di aS misalnya, bisa tercipta dua kubu atau partai politik yang memiliki program dan basis pendukung berbeda, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Kalau kita menghilangkan ekstremisme di ujung kiri dan kanan dalam kedua partai ini, maka yang terlihat adalah persamaan dalam perbedaan, unity in diversity, baik dalam program ekonomi maupun dalam banyak soal lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah soal degree, bukan kind, soal sekian persen tambahan atau pengurangan pajak penghasilan, bukan pada ide bahwa ekonomi pasarlah yang paling mungkin membawa kesejahteraan dan memperluas kemungkinan bagi kemajuan masyarakat.
Di berbagai negeri lain, hal yang sama juga terjadi walaupun dalam konteks dan ekspresi politik yang berbedabeda. Beberapa tulisan dalam buku ini akan memperlihatkan bahwa beberapa isu, seperti hakikat dan peran negara yang optimal, sikap terhadap separatisme, posisi individu dan masyarakat yang pas dalam kenyataan yang terus berubah, posisi dan cakupan hakhak asasi manusia, tipe ideal sistem pemerintahan yang demokratis, dan semacamnya, dapat disikapi secara berbeda oleh orangorang yang pada dasarnya setuju terhadap asumsi dasar tentang hak dan kebebasan manusia.
Sejarah dengan huruf kapital memang mungkin telah berakhir. Namun sejarah dengan huruf kecil terus berlangsung setiap hari di sekeliling kita. Dan kalau sudah begitu, maka menurut saya, kita harus mengingat kembali apa yang selalu di sampaikan oleh Sir Isaiah Berlin dengan mengutip Kant: Out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made.
Jadi menurut saya, selain memang ada koherensi gagasan, tenda besar pemikiran liberal membuka peluang bagi perbedaan, inovasi ideide, penyesuaian pemikiran universal dengan konteks lokal, dan semacamnya. Dalam hal ini konsistensi ber jumpa dengan kearifan, teori bertemu dengan kekayaan pengalaman.
Karena itulah, tradisi pemikiran ini tidak pernah kering. Dan jika diterapkan sebagai suatu perspektif dalam melihat sejarah politik, pergulatan ideide dan aktoraktor sejarah di da lamnya, serta dalam melihat dilemadilema yang dihadapi da lam mengaplikasikan kekuasaan politik untuk mencapai tujuantujuan bersama, maka tradisi ini akan menjadi semakin ka ya dan penuh warna.
***
untuk konteks pemikiran di Indonesia, harus saya akui
bahw a tradisi pemikiran demikian memang belum terlalu berkembang. Warisan tradisi intelektual kita lebih banyak ber tumpu di aras sosialis, nasionalis, dan religius. apa yang diu ngkapkan oleh Bung Karno sebagai suatu penciptaan tenda po litik besar dari penggabungan ketiganyanasionalisme, sosial is me, agamaadalah suatu ekspresi yang tanpa sadar seb e narnya telah menggambarkan dengan baik genealogi pemi kiran di ne geri kita.
Bukanlah hal yang mudah untuk merintis jalan baru. Kerapkali, salah pengertian dan kecurigaan lebih sering terjadi, bahkan di tingkat istilah atau terminologi. tapi syukurlah, konteks besar Indonesia juga telah berubah, dan sekarang sudah muncul cukup banyak pemikir muda yang mulai membuka diri dan juga merintis suatu tradisi pemikiran baru.
Kepada mereka semua, mudahmudahan buku ini dapat menjadi teman di perjalanan, sekadar pembanding untuk meru muskan ideide yang lebih baik lagi.
akhirnya, yang tersisa adalah rasa syukur dan ungkap
an terimakasih. Saya tidak mungkin menyebut satu persatu me reka yang telah membantu saya, langsung maupun tidak. tetapi secara khusus saya ingin berterimakasih kepada Nirwan Dewanto,ZaimRofiqi,NongDarolMahmada,CandraGautama,Luthfi Assyaukanie, Sugianto Tandra, Saiful Mujani, JeffrieGeovannie, hamid Basyaib, Kuskridho Dodi ambardi, Prof. Bill Liddle, ulil absharabdalla, ahmad Sahal, Nirwan arsuka, ayu utami, Rustam F. Mandayun, M. Chatib Basri, M. Ikhsan, Raden Pardede, Lin Che Wei, Mahendra Siregar, Bayu Khrisnamurti, amir hakim Ekananda, hidayaturohman, agatha Dyah Sedah asih. Mereka adalah sahabatsahabat saya.
Saya pernah membaca beberapa laporan penelitian bahwa salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah persahabatan yang akrab dan tulus. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana mendefinisikan kebahagiaan. Namun saya merasa bahwa hidupsa ya memang lebih kaya dan menyenangkan dengan adanya sahabatsahabat yang membantu saya.
Secara khusus saya juga ingin berterimakasih kepada andi a. Mallarangeng. Sebagai kakak, dia sangat menyenangkan. Dia mungkin tidak sepenuhnya mengerti betapa besar jasanya dalam perjalanan hidup saya. Sejak kecil hingga mahasiswa, bah kan hingga sekarang, dia bukan saja kakak dan teman sepermainan, melainkan juga seseorang yang menjadi sparring partner dalam begitu banyak perdebatan yang passionate tentang berbagai hal. Selain itu, dalam beberapa percabangan jalan hidup di masa remaja saya, dia adalah titipan tuhan, yang menga jak saya untuk menuju pada jalan yang benar.
I am a very lucky person because of him.
Kepada Dewi tjakrawati, saya juga ingin menyampaikan te rima kasih yang sedalamdalamnya. Banyak tulisan dalam buku ini saya tulis hingga larut malam. Dan salah satu kepuasan ter besar saya adalah jika keesokan paginya, Dewi, setelah membaca naskah saya diamdiam, membangunkan saya sambil memberi komentar yang membesarkan hati.
Semoga terbitnya buku ini juga memberi kepuasan yang sa ma baginya.
Jakarta, 6 November 2008