GEMBALA TIDUR - 1
Berurusan dengan puisi merupakan kesediaan untuk menyuntuki makna. Mengenalinya, mengakrabinya, menghancurkannya, bahkan membangunnya kembali dengan wajah yang baru. Beberapa puisi yang dianggap kurang berhasil barangkali berhenti di tataran mengenali makna. Butuh suatu bakatsebuah upaya yang tidak sederhanaserta vitalitas tertentu bagi penyair untuk melakukan penghancuran-penghancuran makna, dan tentu saja kearifan untuk membentuknya ke dalam wajah yang baru tanpa menjadi compang-camping. Dalam suatu kurun generasi, hal yang demiki-

an terkadang tidaklah lebih penting dari daya ungkap itu sendiri. Ketika keindahan dan teknik bahasa berada dalam takaran paling tinggi dalam temuan serta bahasan estetik. Meski bukan berarti mereka yang berada dalam sikap ini tidak memiliki landasan yang cukup kuat dan fundamental. Bahkan di antaranya merupakan sebuah respon zaman untuk memberi alur baru sejarah puisiyang berarti pula arah baru bagi cara manusia melakukan pola-pola simbolik berbahasa dalam lambung kebudayaannya.

Kesemuanya itu saya pahami sebagai sebuah itikad. Sebuah upaya. Ini menjadi absah mengingat kita berada dalam suatu kondisi budaya yang tak seragam. Pusat berada di mana-mana dan bisa dari siapa saja dalam skalanya masing-masing yang resiprokal. Segala sesuatunya berada dalam ketegangan untuk melakukan tawar-menawar bagi kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh banyak kepalalengkap dengan corak ide, nilai, serta perangkatnya masing-masingtak jarang semua berjalan dengan tentram dan tak jarang pula dengan chaos.

Bukanlah tindakan yang tepat jika kita kemudian mesti takut terhadap potensi dari pikiran dan dengan mudahnya menolak ijtihad-ijtihad yang mungkin dari banyaknya persoalan yang kita hadapi; sosialpolitik, budaya, fanatisme kesukuan, agama, bahkan perang kapital. Sebuah bangsa, teringat Tagore, ditentukan oleh caranya untuk survive mengatasi persoalan-persoalan yang melanda masyarakatnya.

Kitalah yang berupaya membangun ilmu-ilmu, melakukan pencarian jejak-jejak kemanusiaan yang terpendam, melakukan penggalian-penggalian situs, merancang mesin teknologi, merekonstruksi masa lalu lewat institusi-institusi pendidikan untuk mencari kedirian manusia yang bangkit dan punah silih berganti. Memenuhi segala hasrat purba yang bagai gergasi melahap segalanya. Kita pula yang meyakini diri untuk tetap superior di tengah aporia (kebuntuan-kebuntuan) kemanusiaan agar seakan kita cukup dewasa untuk menanggung beban zaman. Seperti Sisipus yang dikutuk memanggul batu ke puncak gunung. Meski gagal dan batu itu bergulir kembali, tapi kita bangkit dan melupakan segala kegagalan.

Sejak revolusi teknologi paling sederhana di saat manusia bersiasat dengan alam secara nomadis hingga zaman di mana Raja-raja bangkit dari tidurnya, ekspansi-ekspansi ke dunia yang lebih luas, penaklukan samudera lewat pelayaran antar benua, penemuanpenemuan perdagangan hingga pada kolonialisme dan penjarahan-penjarahan besar yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya atas nama kemanusiaan. Perang dan asmara berkecamuk di bumi; Adam yang takjub pada dirinya dan menatap ke langit kosong-sepi. Kita hanya mampu membangun kuil-kuil masa lalu untuk berpijak. Melahirkan dewa-dewa lalu menumbangkannya. Epos dan mitologi, hantu-hantu ingatan dan kencana cita-cita, lahir dan tumbang menggenapi kefanaan kita. Tapi memang demikan kita mesti bertanya, pentingkah yang abadi Jika manusia abadi serta tumbuh dalam seluruh periode zaman, lalu kepada siapa kita mesti belajar Justru hidup yang nisbi, tak kekal dan rapuh, bangkit dan gugur telah menjadi tungku abadi di mana kehangatan hasrat dan keinginan untuk bersiasat melahirkan kualitas-kualitas yang berbeda dari tiap babakan zaman. Biarlah yang abadi menjadi milik tuhan dan para dewa.

Ketika malam gelap dan matahari padam dari pandangan, ketika selubung kabut melingkupi kesadaran kerdil manusia yang berkumpul dan membentuk koloni-koloni, menggengamkan tangan satu sama lain; menjaga kita dari sesuatu yang tak dapat kita baca dari semesta gelap kejahiliahan. Kita telah menyatakan diri untuk bersama dalam suatu garis geografis terkecil, memberi jarak pada alam liar yang mengerikan; hidup yang bermain-main dan bersenda gurau, maut dan ambisi, hasrat dan pertobatan, juga cinta dan kelicikan. Puisi dalam hal ini tidak hanya dilahirkan untuk memberi permakluman terhadap ironi dan kegetiran kemanusiaan kita. Ia juga merupakan upaya pencarian simpul-simpul dari ketegangan-ketegangan maknawi. Memberi arti bagi kesibukan rutinitas yang menjemukan, nilai bagi absurditas kenyataan yang kita temukan dalam kenyataan-kenyataan kodrati yang tak mampu dielak. Ia selalu lahir dan baru namun dalam waktu yang serentak ia tua dan ringkih.

**

Ada sebuah kondisi di mana nilai dan pirasa puitik tidak bisa dimiliki siapapun bahkan penyairnya sendiri, ia hadir ketika ingin hadir, dengan caranya yang tak bisa dipanggil dengan sekedar berpikir dan bergalaugalau dengan keadaan. Sebab sebagai suatu karya, puisi memiliki suatu ketergantungan kepada tangan penyair untuk menjelma bahasa. Kenyataannya saya tak bisa mengelak bahwa di banyak saat puisi hanya datang dalam suatu kondisi-kondisi di luar kendali dan kesiapan-kesiapan perencanaan.

Ia mengatasi ruang dan waktu, mengembara dari puing-puing ada dan menapak wilayah-wilayah yang tak pernah dijamah. Terkadang enggan menjelma kata yang ditangkap penyair dan memilih menjadi jiwa bagi peristiwa dan alam benda-benda. Penyair yang baik menyadari hal ini dan insaf kapan ia mesti tak berurusan dengan kata-kata lagi. Menanggalkan jubah serta sayapnya lantas lebur dalam kerja sehari-hari.

***

Puisi-puisi dalam Gembala Tidur merupakan sebuah respon kejutdalam sebuah spektrum relatif dalam takaran imajinasi dan kerja-kerja kepenyairanyang meski melewati sekian upaya intelektual namun tak pernah benar-benar meninggalkan daya (untuk tidak dikatakan godaan-godaan) intuitif. Meski ia lahir dari perkawinan ataupun pergulatan realitas (perjalanan kreatif) di sekitar saya, ia tidak serta-merta realitas itu sendiri. Ia membutuhkan tangan-tangan yang lain untuk menggenapi dirinya.

Terkadang ia datang di tengah hiruk pikuk, dalam sepi dan sendiri, pada jeda suatu perjalanan ke kota karib, dari rasa takjub yang seketika dan dengan magic-nya yang khas memanggil seluruh perbendaharaan, dari rasa marah, empati, sedih, bahkan ketika saya berada dalam suatu titik paling pucuk dari pirasa puitik. Ia datang dan mendesak untuk ditulis, beberapa saya tuliskan, beberapa gagal saya tuliskan, beberapa kami sepakati untuk tak ditulis.

Puisi-puisi di dalam kitab ini merupakan karyakarya yang saya tulis dalam kondisi krisis. Di mana arketip-arketip lama saya mengalami keruntuhan. Ketika masa muda menunjukkan wajahnya yang berbeda, yang menyimpan apokaliptiknya dalam gairah mencari jawab terhadap soal-soal yang tak sepenuhnya dialami. Ketika saya merasa asing dalam pengembaraan-pengembaraan tekstual yang membawa hantu beserta kuburan-kuburan sejarahnya. Ketika saya berupaya menolak kemutlakan-kemutlakan puitis di dalam hidup saya sendirisebuah pergulatan yang tak mudah bagi saya untuk menjadikannya tetap wajar.

Semua itu lantas tak berusaha menjadi suatu cawan pengetahuan maupun rangsangan-rangsangan untuk nada-nada filosofis yang sumbang. Ia dalam suatu kondisi hanya nyanyi lirih, sebuah soliloqui dari orchestra. Sesuatu yang memungkinkan saya bermabukmabuk dengan pencarian spiritual yang enigmatik dan tiada tara; ketika yang asing menjadi sangat personal. Puisi dan kegilaan tafsir menjamin saya dalam hal ini.

Itu sebabnya, pembaca pun patut berkecewa. Karena pada kenyataannya saya hanyalah binatang yang belajar dan kitab puisi ini merupakan upaya untuk melengkapi takdirnya sendiri. Mengikuti nalar dari kerja penciptaan manusia yang selalu merupakan upaya meruntuhkan sekaligus membangun. Ketika tuhan memberi mandat kepada alam terhadap apa yang mungkin disandangnya. Tidak ada yang hendak dan atau kuasa menerimanya kecuali manusia terhadap embanan itu; yakni kemerdekaan kata lain dari sebuah

kecerobohan yang penting.[]

Yogyakarta, 2014